YLBHI Catat Sepanjang 2010 Ada 1.084 Orang Ditangkap Sewenang-wenang dan 836 Orang Dikriminalisasi
YLBHI mencatat banyaknya orang yang menjadi korban dari penangkapan sewenang-wenang, upaya kriminalisasi,
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat banyaknya orang yang menjadi korban dari penangkapan sewenang-wenang, upaya kriminalisasi, hingga penyiksaan dan perlakuan kejam sepanjang 2019.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan terdapat 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan jumlah korban mencapai 1.084 orang pada tahun 2019.
"Angka yang sangat tinggi ini berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Dimana dalam laporan YLBHI tentang pemantauan hak atas kebebasan menyampaikan pendapat sebelumnya, negara melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia," ujar Isnur, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).
Baca: Motor Harley dan Mobil Mercy Milik Mantan Dirut Jiwasraya Disita Kejaksaan Agung, Ini Penampakannya
Setelahnya, ia memaparkan terdapat pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam dengan jumlah mencapai 56 kasus.
Korban dari pelanggaran ini tercatat ada 542 orang, dimana mereka merupakan korban dalam berbagai aksi demonstrasi ketika aparat menggunakan kekerasan, tindakan-tindakan brutal dan melanggar hukum.
"Terdapat juga 36 kasus kriminalisasi, terhadap 836 orang sepanjang 2019. Upaya-upaya pencari keadilan dalam memperjuangkan hak dan juga menyampaikan pendapat di muka umum kemudian direspon dengan pelaporan dan juga penangkapan," kata dia.
Baca: KPK Bawa 3 Koper Setelah Geledah Ruang Kerja Wahyu Setiawan Selama 8,5 Jam
Isnur mengatakan hasil tersebut memperlihatkan adanya pemberangusan hak dan kebebasan sipil seperti berpendapat, menyampaikan pendapat di muka umum, berkumpul, berserikat, dan berekspresi secara umum.
Menurutnya, hal itu terjadi kepada orang yang kritis kepada pemerintah ataupun investasi serta pembangunan yang dijalankan pemerintah.
Selain itu, terjadi juga pembiaran aparat terhadap pembatasan hak dan kebebasan sipil yang dilakukan sesama warga atau kelompok.
"Politik identitas yang terjadi selama pilpres terus berlanjut dan didukung oleh pembiaran aparat ini. Peradilan yang seharusnya menjadi sarana pemulihan ternyata justru menjadi tempat di mana rakyat banyak mendapatkan pelanggaran," katanya.