Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi III DPR Akan Panggil Pimpinan KPK Terkait Penghentian 36 Perkara

Komisi III DPR RI akan memanggil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta penjelasan terkait penghentian 36 perkara.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Komisi III DPR Akan Panggil Pimpinan KPK Terkait Penghentian 36 Perkara
Tribunnews.com/ Taufik Ismail
Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (3/10/2019). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI akan memanggil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta penjelasan terkait penghentian 36 perkara.

Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, penghentian 36 perkara tersebut perlu di dalami secara detail satu per satu alasannya.

Meskipun kata dia diketahui ada perkara yang tersangkanya meninggal dunia.

Baca: Tanggapi Jubir KPK, ICW Bandingkan Pimpinan KPK Sebelumnya Hanya Hentikan 2 Perkara Tiap Bulan

"Kami perlu data-datanya dari KPK, dalam rapat kerja terdekat, saya mau kupas 36 perkara apa saja? Apa alasannya? Kami jadwalkan setelah reses ini," ujar Habiburokhman di komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Menurutnya, masyarakat juga perlu mengawasi KPK dengan menempuh jalur hukum yang tersedia, bila dari 36 perkara yang dihentikan terdapat kejanggalan atau tidak transparan.

Baca: KPK Hentikan 36 Perkara yang Masih dalam Penyelidikan, Firli Bahuri: Bukan Tindak Pidana

"Kalau masyarakat merasa ada kejanggalan dalam penghentian penyelidikan ini, ada prosedur praperadilan, masyarakat bisa menggunakan hak tersebut," tuturnya.

BERITA TERKAIT

Alasan Firli Bahuri Hentikan 36 Perkara di KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetop 36 perkara di tahap penyelidikan.

Perkara-perkara yang dihentikan itu terhitung sejak pimpinan jilid V dilantik Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2019 hingga 20 Februari 2020.

Ketua KPK Firli Bahuri berdalih,  KPK hentikan 36 perkara akibat tidak ditemuinya tindak pidana atau alat bukti yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. 

"Kalau bukan tindak pidana, masa iya tidak dihentikan. Justru kalau tidak dihentikan maka bisa disalahgunakan untuk pemerasan dan kepentingan lainnya," kata Firli saat dimintai konfirmasi, Jumat (21/2/2020).

Komisaris jenderal polisi itu menegaskan penghentian kasus dalam tahap penyelidikan merupakan salah satu bentuk mewujudkan tujuan hukum.

Baca: KPK Disebut Hentikan 36 Perkara, Anggota DPR Minta Penjelasan

Baca: Wakil Ketua KPK Tak Mau Tanggapi Isu Keberadaan Nurhadi

Baca: MAKI Akan Serahkan Data Aset Hunian Milik Nurhadi ke KPK, Ada Apartemen di SCBD Hingga Vila di Gadog

"Tujuan hukum harus terwujud, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tidak boleh perkara digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan," tegas Firli.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut setidaknya ada empat kasus besar yang tak dihentikan.

Pertama, kasus dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II yang menjerat eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino. Kedua, kasus dugaan korupsi dana divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara.

"Tadi ada pertanyaan apakah perkara di Lombok lalu RJL, kami pastikan bukan itu," ujar Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2020) malam.

Kemudian kasus ketiga yakni kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Dan terakhir kasus kasus dugaan korupsi pembangunan RS Sumber Waras, Grogol, Jakarta Barat.

"Jadi supaya jelas dan clear, jadi ini perkara bukan yang disebutkan atau ditanyakan teman-teman. Bukan di NTB, bukan RJL, bukan Century, Sumber Waras, bukan. Kami pastikan itu supaya jelas dan clear," tegas Ali.

Meski begitu, Ali tak membeberkan secara rinci dugaan korupsi yang penyelidikannya telah dihentikan.

Ia hanya menyebut jenis dugaan korupsi yang penyelidikannya dihentikan cukup beragam, mulai dari dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, kementerian dan lainnya.

"Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/ DPRD," kata Ali.

Dipertanyakan

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR fraksi Partai Demokrat Didik Mukriyanto meminta KPK menjelasan kepada publik alasan menghentikan 36 perkara.

Menurutnya, jika tidak diberikan alasan yang jelas, akan menimbulkan kegelisahan dan spekulasi publik terkait dengan upaya pemberantasan korupsi saat ini dan ke depan.

Partai Demokrat tidak mempersoalkan surat menyurat terkait pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo. Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukriyanto mengatakan hal terpenting, SBY telah menyampaikan pesan kenegarawan kepada Joko Widodo.
Partai Demokrat tidak mempersoalkan surat menyurat terkait pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo. Sekretaris Fraksi Demokrat Didik Mukriyanto mengatakan hal terpenting, SBY telah menyampaikan pesan kenegarawan kepada Joko Widodo. (Capture Youtube)

"Sebagai garda terdepan untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, serta menjadi harapan besar masyarakat untuk terus memerangi dan memberantas korupsi, tentu langkah dan keputusan KPK yang menghentikan penyelidikan atas 36 kasus dugaan korupsi ini cukup mengagetkan dan melahirkan tanda tanya besar, ada apa dengan KPK?," ujarnya kepada wartawan, Jumat (21/2/2020).

Lantas, Didik mempertanyakan KPK yang tidak merinci alasan dihentikannya 36 perkara itu.

Ia menilai wajar jika nantinya banyak spekulasi yang berkembang tentang kinerja KPK pimpinan Firli Bahuri.

Karena itu, ia berharap KPK segera menjelaskan kepada publik secara terang dan utuh langkah dan keputusannya.

"Ada apa dengan pemberantasan korupsi? Apakah ada kesalahan fundamental dalam memberantas korupsi selama ini sehingga harus dihentikan? Apakah ada indikasi pick and choose atau tebang pilih dengan basis selera dan target, sehingga tidak bisa dilanjutkan?," ujarnya.

"Saya berharap KPK segera menjelaskan kepada publik secara terang dan utuh langkah dan keputusannya, agar tidak menimbulkan kegelisahan dan spekulasi publik terkait dengan upaya pemberantasan korupsi saat ini dan ke depan," imbuhnya.

Dengan penjelasan yang utuh dan terang, kata dia, masyarakat akan tergerak untuk bisa membantu memberikan masukan kepada KPK.

Sebagai bahan untuk melakukan evaluasi dan menentukan langkah-langkah progresif pemberantasan korupsi, dengan tetap menjunjung tinggi asas hukum, hak setiap warga negara termasuk HAM.

"Perlu saya ingatkan juga, Pemberantasan korupsi akan bisa optimal apabila partisipasi dan dukungan publik mengalir, sebaliknya apabila rakyat sudah pesimis dan tidak percaya kepada aparat penegak hukumnya termasuk KPK, saya kawatir rakyat dan sejarah akan melakukan koreksi dengan cara mereka," ujar dia.

"KPK harus selalu menyadari pemberantasan korupsi selalu membutuhkan dukungan dan partisipasi rakyat, KPK tidak bisa berjalan sendiri dalam memberantas korupsi," lanjutnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas