Komisi IX DPR Apresiasi Putusan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Komisi IX DPR RI mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi IX DPR RI mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
"Putusan MA yang telah membatalkan kenaikan iuran BPJS untuk semua kelas perlu diapresiasi dan ini memang sesuai dengan keinginan masyarakyat Indonesia," kata Anggota Komisi IX DPR Anas Thahir kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Menurut Anas, dibatalkannya kenaikan BPJS, maka jumlah peserta mandiri semakin besar dan kedisiplinan membayar iuran sesuai waktu bisa lebih meningkat.
"Hal ini juga perlu diikuti oleh tata kelola dan pelayanan BPJS yang makin baik," ucapnya.
Untuk memperbaiki persoalan BPJS, kata Anas, semua pihak harus terlibat dalam memperbaiki. Di mana, rumah sakit bisa lebih transparan dalam memberikan layanan ke masyarakat serta menghindari penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan.
"BPJS sendiri harus meningkatkan diri dengan memperbaiki kedisiplinan dalam penggunaan anggaran," ucapnya.
Baca: Iuran BPJS Batal Naik, Mahfud MD Sebut Pemerintah Ikuti Putusan, Ganjar Pranowo: Pasti Rakyat Senang
Anas meminta, jajaran direksi BPJS Kesehatan untuk melalukan efisiensi dan evaluasi penggunaan anggaran, sehingga keluhan-keluhan masyarakat bahwa selama ini BPJS boros bisa terjawab.
"Terkait defisit anggaran BPJS, pemerintah agar mencari sumber anggaran lain, tentu yang tidak menyalahi aturan yang berlaku," tuturnya.
Seperti diketahui MA mengabulkan uji materiel Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan itu sekaligus membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara hak uji materiel. Diputus Kamis, 27 Februari 2020," ujar juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta.
Dalam amar putusan itu, MA menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) selaku penggugat.
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 23A Pasal 28 H juncto Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d, dan e), Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 234 huruf (b, c, d, dan e) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Pasal 4 juncto Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya," bunyi putusan tersebut.