Kepala Daerah Politisasi Bansos, Ketua Komisi II DPR: Itu Praktik yang Konyol
Doli mengungkapkan sejak awal telah meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengawasi dan memberi peringatan
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menilai tindakan sejumlah kepala daerah memanfaatkan bantuan sosial (bansos) untuk alat politik pribadi atau politisasi bansos merupakan kejahatan yang tidak bisa dibiarkan.
Apalagi jika kepala daerah tersebut berpotensi kembali maju di Pilkada Serentak 2020.
Baca: Duduk Perkara di Balik Teguran Menko PMK dan Keluhan Sri Mulyani Terhadap Anies soal Bansos
"Kalau petahana berusaha memanfaatkan fasilitas untuk publik karena atas nama pemerintah, distempel atas nama pribadi. Saya kira ini satu kejahatan tak bisa kita biarkan," kata Doli dalam diskusi virtual yang digelar JPPR, Kamis (7/5/2020).
Doli meyakini, praktik seperti itu akan mendapatkan respons negatif oleh masyarakat.
Dia menyebut cara-cara itu naif dan memancing reaksi masyarakat.
"Menurut saya praktik seperti itu jadi konyol jadi naif sama dengan akan membuat backfire kepala daerah itu karena tidak ada orang diam," ujarnya.
Doli mengungkapkan sejak awal telah meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengawasi dan memberi peringatan kepada kepala daerah dalam pemberian bansos.
Dia juga mengakui telah memberikan peringatan keras kepada kepala daerah yang diusung Golkar tidak memanfaatkan bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi.
"Kami di parpol kami sudah beri peringatan keras kepala daerah dari parpol kami untuk tidak memanfaatkan bantuan ini untuk kepentingan pribadi," ujar Waketum Partai Golkar ini.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Abhan Misbah, mengusulkan pemerintah mengambil langkah politis menindak kepala daerah menyalahgunakan bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi virus corona (Covid-19).
Menurut dia, Bawaslu RI, sebagai lembaga pengawas pemilu, tidak dapat menindak mereka yang melakukan perbuatan tidak etis tersebut.
Baca: Jakarta Jadi Provinsi dengan Tingkat Kesembuhan Covid-19 Tertinggi, Jumlahnya 2.381 Orang
Hal ini, karena pada saat ini tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) mengalami penundaan.
"Ada kelemahan Undang-Undang 10 (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,-red),"kata dia, di sesi diskusi Politisasi Dana Covid-19 untuk Kepentingan Pilkada Serentak 2020, Selasa (5/5/2020).