Mengenang 27 Tahun Kepergian Marsinah, Aktivis HAM Berikan Pesan: Pemerintah Harus Lebih Serius
Bagi Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat SPEK-HAM Solo, Fitri Haryani kepergian Marsinah menjadi pembelajaran
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Nama Marsinah sudah tidak asing lagi di telinga para pejuang maupun aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Persis pada hari ini 27 tahun yang lalu, tepatnya pada 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan terbunuh di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur setelah dinyatakan hilang selama tiga hari lamanya.
Dikutip dari wikipedia, dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, yakni Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Prof. Dr. Haroen Atmodirono dan Pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk Haryono membeberkan hal yang mengejutkan.
Keduanya menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Penghargaan Yap Thiam Hien sendiri merupakan sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Kasus kematian Marsinah menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.
Baca: Marsinah dan 8 Mei Trending Twitter Jumat, 8 Mei, Cerita Tak Berujung hingga Drama Ratna Sarumpaet
Baca: Bukan Cacian atau Makian, Ini Sanksi Sosial yang Cocok untuk Ferdian Paleka Cs Menurut Aktivis HAM
Bagi Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo, Fitri Haryani, kepergian Marsinah menjadi pembelajaran bagi semua pihak.
Menurut Fitri, perjuangan hak buruh bukan hanya perkara gaji, melainkan juga esensi kesetaraan gender yang harus dikedepankan.
"Marsinah adalah bukti bahwa kesetaraan gender perlu dicapai hingga ruang kerja baik domestik maupun publik," katanya kepada Tribunnews, Jumat (8/5/2020).
Fitri melanjutkan, pelanggaran HAM masa lalu yang belum selesai hingga saat sekarang masih ada, satu contohnya terkait dengan kematian Masinah.
"Lebih dari 25 tahun belum ada titik terang maupun pengakuan bahwa kematian Marsinah bagian dari pelanggaran HAM," imbuhnya.
Fitri meyakini jika pemerintah berupaya serius dari kasus perkosaannya maupun barang bukti yang telah ditemukan atas penyebab kematian, maka perkembangan lebih lanjut untuk upaya pengungkapan kasus tersebut bisa dilakukan.
Baca: Indonesia Darurat Corona, Komnas HAM Minta DPR RI Tunda Pembahasan Omnibus Law Ciptaker
Baca: Menaker Izinkan Pengusaha Tunda dan Cicil THR Karyawan, Begini Reaksi Serikat Buruh
"Hingga sampai sekarangpun belum ada pernyatan dari pemerintah bawasanya kematian Marsinah bagian dari pelanggaran HAM," ucapnya.
Fitri menilai, faktor pemicu kematian Marsinah karena vokal memperjuangkan hak-hak buruh.
Di mana, pada masa orde baru, sebuah hal yang tak lazin jika diperjuangkan.
Padahal konvensi hak sipil yang diakui oleh negara kita sejak 10 Desember 1948 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) sebagai hak-hak yang tidak dapat dikurangi atau non derogable right.
"Maupun derogable right sudah jelas termaktub di dalamnya."
"DUHAM merupakan instrumen utama HAM Internasional di mana Indonesia ikut serta dan termasuk yang mengakui di dalamnya," lanjutnya.
Terkahir Fitri meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap penegakan HAM di Indonesia.
"Pemerintah harus lebih serius untuk melakukan penegakan HAM karena ini merupakan penilai dasar, bagaimana tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat sipil," tegasnya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.