Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik Mulai 1 Juli, DPR: Jangan Bebani Rakyat
Arief Poeyono mempertanyakan siapa orang yang mengusulkan Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Editor: Sanusi
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang keputusan itu memberatkan masyarakat saat kondisi sekarang ada pandemi Covid-19.
Menurutnya, pengusaha sebelumnya juga sudah mengajukan relaksasi untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk karyawan, sehingga tidak makin memberatkan perusahaan.
"Sehingga memang dalam kondisi seperti ini perusahaan saja merasa sangat keberatan. Apalagi masyarakat umum gitu," ujarnya saat teleconference di Jakarta, Rabu (13/5).
Hariyadi menambahkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu mengkhawatirkan karena masyarakat terancam tidak memiliki jaminan layanan kesehatan.
"Memang dinaikkan itu yang kita khawatirkan, khususnya adalah untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah. Artinya, mereka tidak bisa mendapatkan akses untuk manfaat pelayanan kesehatan, ini juga cukup serius," katanya.
Baca: Anggota DPR: RUU Minerba Untungkan Pemerintah Daerah
Baca: Pemerintah Naikkan Lagi Iuran BPJS, Ini Reaksi DPR, Masyarakat, hingga Mahkamah Agung
Baca: Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi, Ahli: Lebih Baik Perbaiki Data, Agar Tepat Sasaran
Menjalankan Putusan Mahkamah Agung
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan diterbitkannya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan Mahkamah Agung.
“Perlu diketahui juga, Perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI, khususnya dari para Anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III,” jelas Iqbal, Rabu (13/5/2020).
Rincian
M. Iqbal Anas Ma’rufmenerangkan, besaran iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk bulan Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, Rp 42.000 untuk kelas III.
Sementara untuk bulan April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III.
“Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III,” tutur Iqbal.
Iqbal menjelaskan, sebagai wujud perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap kondisi finansial masyarakat, lanjut Iqbal, pemerintah menetapkan kebijakan khusus untuk peserta PBPU dan BP kelas III.
Tahun 2020, iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp 25.500. Sisanya sebesar Rp 16.500, diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.
“Kemudian, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000,” tambahnya.
Iqbal juga mengatakan, sebagai upaya mendukung tanggap Covid-19, pada tahun 2020 peserta JKN- KIS yang menunggak dapat mengaktifkan kepesertaannya kembali dengan hanya melunasi tunggakan iuran selama paling banyak 6 bulan.
“Sisa tunggakan, apabila masih ada, akan diberi kelonggaran pelunasan sampai dengan tahun 2021, agar status kepesertaaannya tetap aktif. Untuk tahun 2021 dan tahun selanjutnya, pengaktifan kepesertaan harus melunasi seluruh tunggakan sekaligus,” ujarnya.
Enggan Berkomentar
Mahkamah Agung sendiri enggan mengomentari Perpres yang baru dikeluarkan Jokowi ini.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengatakan, penaikan iuran BPJS merupakan kewenangan pemerintah.
"Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah," kata Andi saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Perlu Keberlanjutan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan iuran BPJS bertujuan untuk menjaga keberlanjutan BPJS kesehatan itu sendiri.
Menurutnya, iuran BPJS tersebut ada yang disubsidi pemerintah, dan ada yang tidak.
Untuk iuran BPJS yang tidak disubsidi, pemerintah berharap bisa menjalankan keberlanjutan operasional BPJS
"Kemudian yang terkait dengan BPJS sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan nah tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," kata Airlangga dalam video conference, Rabu, (13/5).
Airlangga menjelaskan, BPJS Kesehatan selalu ada dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disubsidi dan ada yang membayar iuran, dipotong untuk iuran, tetapi terhadap keseluruhan operasionalisasi BPJS dirasakan diperlukan subsidi pemerintah.
Tertimpa Tangga
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon, memberikan kritik atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Fadli, keputusan menaikkan iuran BPJS setelah sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) adalah keputusan yang absurd.
Mantan Wakil Ketua DPR ini mengibaratkan masyarakat yang mendapat kenaikan iuran BPJS di tengah wabah Corona sebagai orang yang sudah jatuh lalu tertimpa tangga dan kemudian terlindas mobil.
Fadli pun meminta agar Jokowi membatalkan keputusan tersebut.
Hal itu disampaikan Fadli Zon melalui postingan di akun Twitternya, @fadlizon, Kamis (14/5/2020);
"P @jokowi, kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi n stlh ada keputusan MA menurunkannya, benar2 absurd. Rakyat sdh jatuh tertimpa tangga lalu spt dilindas mobil. Selain bertentangan dg akal sehat, resep ini makin miskinkan rakyat. Kesengsaraan rakyat tambah meroket. Batalkanlah!" tulisnya.
Tanggapan Ahli Hukum UNS
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto, menyebut kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan merupakan anomali atau ketidaknormalan.
Pasalnya, saat ini pemerintah merealokasi anggaran negara besar-besaran untuk membantu masyarakat miskin yang terdampak wabah.
Ia menganggap kenaikan iuran BPJS di tengah bencana tidaklah tepat.
"Menurut saya kurang tepat, karena posisi kita sedang dalam masa pandemi Covid-19."
"Sangat anomali dengan kebijakannya sendiri yang merealokasi APBN dalam rangka membantu masyarakat miskin," ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Agus menuturkan, kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang tidak konsisten.
Di satu sisi, masyarakat yang terdampak corona terbantu dengan pemberian bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu atau bantuan sembako.
Namun, dalam kebijakan terbarunya ini, masyarakat juga harus membayar kenaikan iuran BPJS.
"Di satu sisi merealokasi APBN untuk masyarakat miskin yang terkena dampak corona, di sisi lain dinaikkan iuran BPJSnya."
"Ini tidak konsisten antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain," tutur Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Dibanding menaikkan iuran, Agus menjelaskan, seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan dalam struktur BPJS Kesehatan.
Misalnya data kepesertaan BPJS Kesehatan yang masih perlu dibenahi.
Agus menuturkan hal ini perlu dilakukan agar anggaran BPJS Kesehatan tepat sasaran.
"Selama ini data tentang kepesertaannya ini nggak jelas, antara peserta mandiri yang ditanggung oleh perusahaan swasta atau pun pemerintah," jelasnya.
(Tribunnews.com/Daryono/Inza Maliana)