Pakar Ekonomi Nilai Kenaikan BPJS di Masa Pandemi Perlu Ditinjau Kembali
Pakar Ekonomi dari UNS menilai kenaikan BPJS di masa pandemi perlu ditinjau kembali.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Ekonomi dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Retno Tanding Suryandari, SE., M.E., Ph.D., menilai kenaikan BPJS di masa pandemi perlu ditinjau kembali.
"Ketika kita bicara kalau ini dinaikkan sekarang dalam masa pandemi ini, apakah seharusnya perlu ditinjau, saya kira iya," ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS tersebut saat diwawancarai Tribunnews.com melalui Zoom Meeting pada Kamis (14/5/2020) lalu.
Meskipun demikian, menurut Retno, masyarakat juga perlu menyadari adanya kesenjangan antara jumlah bayaran yang diberikan serta layanan yang diterima.
Sementara itu, defisit yang dialami BPJS menurutnya tak mungkin hanya ditanggung oleh BPJS saja.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Sri Mulyani: Kalau Nggak Kuat Kelas I dan Kelas II, Turun Saja Kelas III
"Ditinjau pun kita perlu menyadari ketika biaya preminya terlalu rendah padahal layanan yang diberikan tidak murah, artinya di sana kan ada gap antara yang dibayar dan diberikan, saya membayar berapa seharusnya biayanya berapa, ini berarti gap ini siapa yang menanggung?" ujar Retno.
"Defisit yang dialami BPJS kemarin itu kan kemudian siapa yang akan menanggung, kan gak mungkin BPJS, artinya itu dari pemerintah, itu kan subsidi," sambungnya.
Ketika membicara subsidi, Retno menambahkan, pemerintah perlu mengedukasi bahwa subsidi sebaiknya diberikan bagi rakyat yang membutuhkan saja.
"Sementara meskipun kita bicara bahwa memang harus dinaikkan karena memang nilai yang harus dibayar itu segitu, ini kita bicara bahwa ini mereka tidak lagi mendapat subsidi," lanjutnya.
Ia menambahkan, sama halnya dalam memberi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada masyarakat, pemerintah secara bertahap mennsosialisasian bahwa premium bukan untuk semua kalangan.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun memahami dan terbiasa akan hal itu.
"Harapannya di layanan kesehatan akhirnya juga seperti ini."
"Kita sadar akan kesehatan, kita tahu bahwa itu tidak murah, dan kita membayar dengan wajar saja."
"Subsidi sebaiknya diberikan pada memang kelompok masyarakat yang tidak mampu," tegas Retno.
Bagaimana Dampak dari Kenaikan BPJS Kesehatan?
Retno mengatakan dampak kenaikan BPJS Kesehatan untuk saat ini belum dapat dilihat.
Menurutnya, apakah kenaikan tersebut berdampak besar baru bisa dilihat pada Juli 2020 mendatang, saat kebijakan ini benar-benar diterapkan.
Ia pun menilai kebijakan tersebut rencananya diterapkan pada Juli 2020 mendatang, karena pemerintah mengharapkan pandemi sudah berakhir.
Sehingga, masih perlu dilihat pula apakah pemerintah nantinya akan merevisi lagi.
"Itu kemarin kan harapannya Juli sudah bukan pandemi lagi, kita harus melihat apakah bulan Juli masih ada revisi lagi," kata Retno.
"Jadi jangan cepat-cepat men-judge dulu, karena pelaksanaannya 'kan di bulan Juli dan itu berlaku untuk kelas 2 dan 1."
"Itu saya kira kita perlu menunggu reaksi pemerintah ketika bulan Juli apakah ada revisi atau tidak," sambungnya.
Baca: Tak Cuma Biaya Iuran yang Naik, Denda Juga Bertambah 5% Jika Nunggak Bayar BPJS Kesehatan
Retno juga menyampaikan, mengimplementasikan program layanan kesehatan seperti BPJS ini memang tidak mudah.
Menurutnya, usaha pemerintah dalam mendorong pelaksanaan program ini guna memberikan akses kesehatan pada seluruh masyarakat perlu diapresiasi.
"Memang tidak mudah mengimplementasikan program layanan kesehatan seperti ini."
"Tapi bahwa pemerintah Indonesia berusaha untuk mendorong pelaksanaan program ini sekaligus untuk mendorong akses kesehatan kepada semua penduduk Indonesia ini perlu kita apresiasi dulu," kata Retno.
Masyarakat Perlu Mengalokasikan Dana yang Tak Sedikit untuk Kesehatan
Retno kembali menekankan, masyarakat perlu menyadari bahwa sehat itu tidak murah.
Sehingga, diharapkan masyarakat mampu mengalokasikan dana yang tak sedikit untuk biaya kesehatan.
Lebih lanjut, Retno mengungkapkan, layanan BPJS ini juga sangat membantu masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan mahal.
Seperti halnya bagi penderita kanker maupun penyakit berat lainnya.
"Kita juga banyak cerita teman-teman yang memerlukan layanan kesehatan mahal karena kanker, atau harus cuci darah, atau masuk ICU, itu memerlukan biaya yang tidak murah."
"Dengan mereka menjadi peserta, itu jadi tidak terasa buat mereka," kata Retno.
Baca: Sederet Alasan Pemerintah Tetap Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Klaim Jaminan Kesehatan Lebih Baik
Oleh karena itu, Retno pun berharap hal-hal demikian dapat dipikirkan bersama oleh seluruh masyarakat.
"Nah hal-hal seperti ini yang juga perlu kita pikirkan bersama, bahwa ketika kita membayar itu tidak sekadar memikirkan diri saya tapi kita juga perlu memikirkan peserta BPJS yang lain."
"Sehingga ketika membayar, bukan karena terpaksa tapi karena itu sebagai suatu kesadaran bahwa itu bagian yang harus kita pikirkan untuk menjaga kita sendiri," tutur Retno.
Pemerintah Kembali Naikkan Iuran BPJS
Dalam Perpres 64 Tahun 2020, terdapat kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Berikut rinciannya kenaikan iuran BPJS:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Baca: AHY Turut Menyayangkan Naiknya Iuran BPJS Kesehatan saat Wabah : Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Untuk peserta mandiri kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500, sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Namun, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, pada 2021 mendatang.
Dengan demikan, yang harus dibayarkan peserta mandiri kelas III adalah Rp 35.000.
Sebelumnya, kenaikan BPJS Kesehatan ini telah dibatalkan MA berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.
Namun, pemerintah mengklaim bahwa diterbitkannya perpres baru, yakni Perpres 64 Tahun 2020 sebagai revisi Perpres 75 Tahun 2019 tersebut adalah untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Baca: Muhadjir Sebut Kenaikan Iuran BPJS adalah Pilihan Sulit: Sabar, Nanti akan Kita Evaluasi Dulu
"Ini bukan jangka pendek, tapi jangka panjang supaya ada kesinambungan dan kepastian," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, seperti yang dikutip dari Kompas.com, Kamis (14/5/2020).
Pemerintah juga dikatakannya telah melakukan dengan melakukan perbaikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan perundangan.
Hal tersebut dilakukan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik kepada seluruh rakyat.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta, Kompas.com/Deti Mega Purnamasari)