Ketahanan Pangan Disorot saat Pandemi Covid-19, LDII: Nenek Moyang Kita Tidak Pernah Impor
Akibat seringnya pemerintah mengimpor bahan pangan petani kerap terpukul ketika masa panen bersamaan dengan saat impor pangan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 menyebabkan ketidakpastian global. Tidak hanya di Indonesia, bahkan diluar negeri sekalipun tidak ada yang dapat memprediksi kapan situasi pandemi ini akan berakhir.
Wabah ini memicu pertanyaan besar, sejauh mana ketahanan pangan dan kemandirian nasional terkait dengan pangan.
Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Prasetyo Sunaryo mengatakan ketahanan pangan nasional saat ini, masih bergantung dengan manajemen impor pangan.
Baca: Difasilitasi Bea Cukai, Dua Perusahaan Ini Impor dan Donasikan APD ke Pemprov Lampung
Baca: Kemlu RI Belum Bisa Pastikan Jumlah Kasus Impor Covid-19 di Indonesia
Padahal dalam sejarah, nenek moyang bangsa Indonesia tidak pernah mengimpor bahan pangan, bahkan sebaliknya.
“Sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan kerajaan-kerajaan lainnya, belum pernah Indonesia mengimpor. Justru kerajaan-kerajaan itu mengekspor beras ke mancanegara,” ujar Prasetyo Sunaryo dalam konferensi pers terkait ketahanan pangan, Rabu (20/5/2020).
Akibat seringnya pemerintah mengimpor bahan pangan petani kerap terpukul ketika masa panen bersamaan dengan saat impor pangan.
Ketahanan pangan sangat bergantung dari pemerintah sebagai regulator. Bahkan pangan bisa dijadikan alat diplomasi selain air dan energi.
Dengan demikian penguasaan pangan merupakan hal yang penting dalam geopolitik. Di sisi lain petani harus selalu kreatif dan inovatif untuk meningkatkan produksi pertanian.
Memulai ketahanan pangan, LDII telah berupaya dengan menyuburkan kembali tanah-tanah pertanian yang struktur tanahnya rusak oleh pupuk kimia.
Seperti yang dilakukan anggota Dewan Pakar LDII, Arief Iswanto yang berhasil menyuburkan lahan-lahan pertanian yang mengeras karena pupuk kimia di Sukabumi.
“Terbukti tanah kembali subur, dengan hasil 6 ton per hektar,” ujar Prasetyo Sunaryo.
Di area tersebut, Arief mengembangkan pembuatan pupuk alam, tanaman cokelat dan kopi. Produk-produk pertanian tersebut, sudah diminati kafe-kafe di Eropa.
Pras berujar bila temuan bibit atau pupuk, bahkan juga obat pada tanaman, bila dilakukan oleh individu atau sekelompok petani, tidak harus dihadapkan pada birokrasi dan hukum.
Bahkan bila perlu, pemerintah bisa memberi izin produk bibit dari petani. Dengan membantu riset dan hak intelektual.
“Dengan begitu, petani bisa menjadi subjek dan negara melakukan proteksi,” ujarnya
Prasetyo mengingatkan, ketahanan pangan justru tak tercipta ketika pemerintah menekan kreativitas, atau lebih mementingkan tanaman tertentu,
“Kita bisa berpaling ke sejarah, titik mula kekurangan pangan di Pulau Jawa, ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa, yang menyebabkan sawah-sawah berubah menjadi tanaman tebu, hanya untuk mengisi kekosongan kas akibat Perang Jawa,” imbuh Prasetyo Sunaryo.
DPP LDII berharap, ketahanan pangan ini menjadi fokus perhatian pemerintah. Indonesia harus bisa mandiri dan swasembada pangan, jangan sampai hanya mahir memanajemen impor pangan.