Wacana Kelas BPJS Dilebur, DJSN Siapkan Kelas Standar Rawat Inap
Setelah kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kini wacana mengenai kelas tunggal BPJS mengemuka.
Penulis: Indah Aprilin Cahyani
Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNEWS.COM - Setelah kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kini wacana mengenai kelas tunggal BPJS mengemuka.
Dengan adanya kelas tunggal artinya tidak lagi ada kelas 1, 2, dan 3, namun ketiganya dilebur jadi satu.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien menyatakan, pemerintah tengah menyiapkan kelas standar untuk peserta program jaminan kesehatan nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Hal itu disampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Jumat (22/5/2020).
Sesuai yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Baca: DPR Tak Setuju Kelas Peserta BPJS Kesehatan Dihapus, Tingkatkan Kualitas Layanannya Saja Dulu
Baca: Wacana Hapus Kelas BPJS Kesehatan Dinilai Baik, Tapi Perlu Dengar Aspirasi Peserta
Muttaqien menyebutkan pada Pasal 23 Ayat 4 dijelaskan bahwa dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
"Jadi ini saya pikir sangat jelas sekali amanah UU SJSN tahun 2004 menyatakan, kelas yang diberikan peserta JKN, bukan haya mandiri itu adalah kelas standar," jelas Muttaqien.
Muttaqien juga menjelaskan terkait fungsi DJSN sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN.
"Di Pasal 7 disampaikan bahwa DJSN bertanggung jawab kepada Presiden," ucapnya.
"Selanjutnya di Ayat 2 DJSN berfungsi untuk merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)," sambungnya.
Sementara itu, Muttaqien memaparkan, pihaknya telah melakukan kajian untuk mewujudkan implementasi fasilitas rawat inap kelas standar.
Baca: DPR Ingin Wacana Penghapusan Kelas Peserta BPJS Kesehatan Dibahas Lintas Komisi dan Kementerian
Baca: Alasan BPJS Kesehatan Hapus Kelas Peserta : Untuk Layanan Kesehatan Yang Setara dan Berkeadilan
"Untuk menjalankan fungsi ini maka DJSN sejak tahun 2019 sudah melakukan kajian-kajian," kata Muttaqien.
"Terkait bagaimana untuk mewujudkan implementasi alat inap kelas standar di Indonesia," lanjutnya.
Sehingga, ia memastikan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama, tanpa dibedakan kelas ekonomi masyarakat.
"Kenapa ini penting, kami sampaikan amanah UU SJSN pasal 19 ayat 1 jelas mengatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas," paparnya.
Muttaqien pun menjelaskan, prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
"Jadi di sini sangat jelas sekali tidak ada perbedaan antara peserta dengan yang lainnya," ujar Muttaqien.
Dengan demikian, sistem kelas 1, 2, dan 3 untuk peserta mandiri yang ada saat ini kemungkinan akan digabung menjadi hanya satu kelas.
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kembali Digugat,
Sebelumnya, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) kembali menggugat kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
KPCDI mendaftarkan uji materi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).
Penggugat sebelumnya pernah mengajukan gugatan yang sama dengan putusan diterima, sehingga iuran BPJS Kesehatan pun dibatalkan.
Kuasa Hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa mengatakan, dalam putusan MA terkait iuran BPJS Kesehatan itu diketahui masih meninggalkan sejumlah PR.
Baca: Kelas BPJS Kesehatan Akan Dihapus, Komisi IX : Siapkan Fasilitas Dulu
Baca: Iuran BPJS Naik Lagi, KPCDI Daftarkan Judicial Review Perpres 64 Tahun 2020 ke MA
Hal itu disampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Kamis (21/5/2020).
Rusdianto menyebut, pihak BPJS seharusnya bisa memperbaiki PR yang ada.
"Seperti kita tahu bahwa di dalam keputusan Mahkamah Agung itu kan meninggalkan beberapa PR yang harus dibenahi oleh pihak BPJS," terang Rusdianto.
Rusdianto Matulatuwa menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan jilid II ini sangat tidak memiliki empati.
Menurutnya, keputusan BPJS untuk menaikkan iuran masih ada ego sektoral yang menjadi pertimbangan.
"Kita tahu dalam pertimbangan itu BPJS belum maksimal, masih terjadi ego sektoral di sana ketika mengambil keputusan," ujar Rusdianto.
"Sehingga tidak berpihak kepada masyarakat," sambungnya.
Selain itu, ia memaparkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat mengeluarkan rekomendasi untuk menekan defisit pengeluaran BPJS tanpa menaikkan iuran peserta.
Baca: Aturan Kenaikan Iuran BPJS Kembali Diuji Materi ke Mahkamah Agung
Baca: Kerja Sama dengan BPJS, Anggota DPR Ini Salurkan Bansos Beras 10 Ton
Namun, rekomendasi dari KPK itu belum dilakukan oleh BPJS Kesehatan.
"Akhir-akhir ini KPK juga baru mengeluarkan suatu kajian yang mana kami sudah diberikan."
"Ada beberapa rekomendasi dari KPK itu juga belum dilaksanakan oleh pihak BPJS," paparnya.
Rusdianto menambahkan, kenaikkan iuran BPJS seharusnya bisa dialihkan dengan melihat sisi internalnya.
"Artinya bahwa coba kita melihat dari perspektif yang lain dulu, jangan terlalu ngotot dulu di soal keuangan."
"Jangan terlalu ngotot dulu mengatakan masyarakat ini tidak disiplin."
"Jangan terlalu keras dulu kepada masyarakat yang mengatakan bahwa ini penyebabnya dari suatu kekurangan dan sebagainya," jelas Rusdianto.
"Tapi lihatlah dari sisi lain, bagaimana kalau kita merubah suatu perspektif pemikiran kita lihat dari sisi internalnya," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin)