Drama Penangkapan Nurhadi dan Menantunya di Simprug: Enggan Buka Pintu Hingga Dibuka Paksa KPK
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi bersama menantunya, Rezky Herbiyono ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (1/6/2020
Penulis: Adi Suhendi
Kemudian pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp 33,1 miliar.
Baca: Ditangkap KPK, Rumah Persembunyian Nurhadi Kini Ditinggali 2 Balita dan Pembantu
Transaksi tersebut, kata Saut, dilakukan dalam 45 kali transaksi.
Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar.
Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
"Pemberian ini diduga untuk memenangkan HS dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT," kata Saut.
Gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan
Saut menambahkan, Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Penerimaan-penerimaan tersebut, ditegaskan Saut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
Baca: Kesaksian Warga Saat Rumah Diduga Tempat Persembunyian Nurhadi Digeledah Penyidik KPK
"Sehingga, secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT. MTI serta suap atau gratifikasi dengan total Rp 46 miliar," kata Saut.
Atas dugaan itu, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari perkara operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung 2016 lalu.
Kasus ini terungkap pada 2016 silam.
Ketika itu, KPK melakukan OTT yang menjerat Edy Nasution selaku Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno.
Dalam kasus itu, KPK juga menjerat Eddy Sindoro yang merupakan mantan Presiden Komisaris Lippo Group.
Namun ketika itu, Eddy melarikan diri ke luar negeri dan ia menyerahkan diri pada Oktober 2018.