Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Drama Penangkapan Nurhadi dan Menantunya di Simprug: Enggan Buka Pintu Hingga Dibuka Paksa KPK

Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi bersama menantunya, Rezky Herbiyono ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (1/6/2020

Penulis: Adi Suhendi
zoom-in Drama Penangkapan Nurhadi dan Menantunya di Simprug: Enggan Buka Pintu Hingga Dibuka Paksa KPK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi bersama menantunya, Rezky Herbiyono ditangkap tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (1/6/2020) malam.

Nurhadi dan Rezky Herbiyono sebelumnya menyandang status buronan KPK sejak 13 Februari 2020 lalu.

Setelah beberapa bulan menghilang, KPK akhirnya mengendus keberadaan Nurhadi dan keluarganya di sebuah rumah kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Penangkapan dipantau langsung pimpinan KPK sejak Senin (1/6/2020) petang hingga akhirnya dilakukan penangkapan, Senin (1/6/2020) pukul 21.30 WIB.

Sebelumnya melakukan penangkapan, Satgas penyidik KPK berdiskusi di markas KPK membahas rencana penangkapan.

Kemudian tim bergerak menuju rumah yang berada di Kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Baca: Sinopsis Film Haeundae, saat Tsunami Menerjang Busan, Tayang di Trans 7 Selasa, 2 Juni 2020

Ketika tim penyidik hendak memasukki rumah tersebut, Nurhadi melawan.

Berita Rekomendasi

Nurhadi tak kunjung membukakan pintu rumahnya ketika disambang penyidik KPK.

"Iya pintu tidak dibuka, KPK koordinasi dengan RT setempat untuk buka paksa agar disaksikan, baru kemudian dibuka paksa," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan, Selasa (2/6/2020).

Begitu berhasil masuk ke dalam rumah, ternyata selain ada Nurhadi dan Rezky tim penyidik KPK juga melihat istri Nurhadi, Tin Zuraida. 

Baca: Informan Keberadaan Nurhadi Dapat Hadiah HP Canggih Ini

Tin kerap mangkir saat dipanggil KPK sebagai saksi.

Kata Ghufron ketiganya lantas diamankan.

Secara paralel, tim penyidik langsung melakukan penggeladahan dan mengangkut sejumlah barang.

"Iya KPK langsung melakukan penggeledahan dan membawa barang-barang yang ada kaitannya dengan perkara, sampai saat ini masih diperiksa," kata dia.

Dilansir dari kompas.com, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, saat ditemukan Nurhadi sedang bersama keluarganya di dalam rumah.

Baca: Kesaksian Warga: Sejak Tinggal di Simprug Nurhadi Tak Pernah Keluar Rumah

Namun, Nawawi belum bisa memastikan rumah siapa yang ditempati Nurhadi bersama keluarganya tersebut.

"Tidak terkonfirmasi rumahnya siapa. Yang jelas saat digeledah  kedua tersangka ada di sana, bersama istri dan anak cucunya serta  pembantu," ujar Nawawi kepada Kompas.com, Selasa (2/6/2020).

Saat ini KPK masih memburu seorang tersangka lain, yaitu Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.

Diketahui sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA serta penerimaan gratifikasi.

Nurhadi dijerat bersama Rezky Herbiyanto yang merupakan menantunya serta Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.

Dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero)

Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang menjelaskan, pada 2010 PT MIT menggugat perdata PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).

Baca: ICW Desak KPK Usut Keterlibatan Nurhadi di Kasus Lippo Group

Nurhadi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris MA memiliki menantu bernama Rezky Herbiyanto.

Pada awal 2015, Rezky menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra untuk mengurus dua perkara, yakni Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN dan proses hukum serta pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Utara agar dapat ditangguhkan.

"Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut Tersangka RHE menjaminkan delapan lembar cek dari PT MIT dan tiga lembar cek milik RHE untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2019).

Perkara perdata sengketa saham di PT MIT

Saut mengatakan pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT.

Perkara perdata ini dimenangkan Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.

Kemudian pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari Hiendra kepada Nurhadi melalui Rezky sejumlah total Rp 33,1 miliar.

Baca: Ditangkap KPK, Rumah Persembunyian Nurhadi Kini Ditinggali 2 Balita dan Pembantu

Transaksi tersebut, kata Saut, dilakukan dalam 45 kali transaksi.

Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar.

Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.

"Pemberian ini diduga untuk memenangkan HS dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT," kata Saut.

Gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan

Saut menambahkan, Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.

Penerimaan-penerimaan tersebut, ditegaskan Saut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.

Baca: Kesaksian Warga Saat Rumah Diduga Tempat Persembunyian Nurhadi Digeledah Penyidik KPK

"Sehingga, secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk sembilan lembar cek dari PT. MTI serta suap atau gratifikasi dengan total Rp 46 miliar," kata Saut.

Atas dugaan itu, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari perkara operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pengaturan perkara di Mahkamah Agung 2016 lalu.

Kasus ini terungkap pada 2016 silam.

Ketika itu, KPK melakukan OTT yang menjerat Edy Nasution selaku Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pegawai PT Artha Pratama Doddy Aryanto Supeno.

Dalam kasus itu, KPK juga menjerat Eddy Sindoro yang merupakan mantan Presiden Komisaris Lippo Group.

Namun ketika itu, Eddy melarikan diri ke luar negeri dan ia menyerahkan diri pada Oktober 2018.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas