Hanura Anggap RUU Pemilu Dibahas DPR Miliki Pasal Bertentangan dengan UUD 1945
Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir menganggap RUU Pemilu tersebut memiliki pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi II DPR saat ini sedang menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dan memasuki tahap penyampaian usul atau masukan fraksi-fraksi di parlemen.
Menanggapi itu, Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir menganggap RUU Pemilu tersebut memiliki pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.
"RUU Pemilu yang sedang digodok di DPR sekarang ini, terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945," ujar Inas, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (11/6/2020).
Inas mengatakan dalam ayat 1 Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Baca: DPR Bertekad Hasilkan UU Pemilu yang Berlaku Hingga 20 Tahun
Makna adil, kata dia, hanyalah satu yakni setiap suara pemilih milik rakyat Indonesia harus terwakili di DPR. Karena itu pihaknya tidak menyetujui apabila ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen.
"Ambang batas parlemen menjadi 7 persen adalah bentuk perampokan hak milik rakyat yakni suara secara brutal. Jika terdapat suara pemilih yang hangus akibat parliamentary threshold, maka pemilu tidak lagi memenuhi syarat konstitusi, yakni adil," kata dia.
Menurut Inas jika patuh kepada konstitusi maka seharusnya tidak ada ambang batas, baik untuk parlemen maupun pencalonan presiden.
Dia juga menekankan bahwa presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945.
"Pasal 187 RUU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Dimana pasal 6A, ayat 2 berbunyi yakni pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan pasal 187 mengatakan pemilu sebelumnya yang berarti sesudah pemilu," tandasnya.