Alasan Imam Nahrawi Minta Taufik Hidayat Juga Ditetapkan Sebagai Tersangka: Dia Perantara
Uang yang diantarkan Taufik itu merupakan pemberian Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Tommy Suhartanto
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut menetapkan Taufik Hidayat sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Menurut Imam, Taufik semestinya juga dijadikan tersangka karena berperan sebagai orang yang mengantarkan uang dari Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Tommy Suhartanto.
Baca: Mendagri Paparkan Dampak Positif Pilkada Langsung, Batu Loncatan Berkiprah di Tingkat Nasional?
Sebelumnya, dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi, Taufik Hidayat yang merupakan mantan atlet bulu tangkis itu memang sempat mengakui menjadi perantara pemberian uang Rp1 miliar kepada Imam, yang kala itu menjabat sebagai Menpora.
Posisi Taufik ketika itu adalah Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) periode 2016-2017.
Uang yang diantarkan Taufik itu merupakan pemberian Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima
Tommy Suhartanto.
Imam sendiri bersikeras dirinya tak pernah memerintahkan siapa pun untuk meminta uang kepada sejumlah sumber, termasuk kepada Taufik.
Imam juga mengaku tidak mengetahui aliran uang tersebut, termasuk uang Rp 1 miliar dari Taufik.
"Terhadap tuntutan bahwa saya telah menerima beberapa pemberian, seperti dari Supriyono senilai Rp 400 juta, dari Taufik Hidayat Rp 1 miliar, Lina Nurhasanah Rp 2 miliar untuk Budi Pradono, saya tegaskan sekali lagi, saya tidak pernah memerintahkan, apalagi meminta kepada dan untuk siapa pun," kata Imam saat membacakan nota pembelaan
atau pleidoi dalam persidangan yang digelar melalui video telekonferensi, Jakarta, Jumat (19/6/2020).
"Akan tetapi, ternyata mereka mengalokasikan sendiri tanpa perjanjian tertulis. Saya tidak pernah tahu uang-uang tersebut mengalir. Barulah setelah saya jadi tersangka saya mengetahui itu. Apakah ketidaktahuan saya ini menjadi tanggung jawab saya secara pidana juga? Mengingat mereka yang telah bermain api dan mengatasnamakan saya?" imbuhnya.
Imam lantas mempertanyakan cara pandang yang digunakan untuk menjeratnya sebagai tersangka.
Menurutnya, Taufik seharusnya juga dijadikan tersangka walaupun tidak tahu soal aliran dana tersebut.
"Demikian juga tentang uang Rp 1 miliar yang diterima Taufik Hidayat. Sampai persidangan ini selesai, saksi Miftahul Ulum dengan tegas menyatakan tidak pernah menerima uang tersebut," ucap Imam.
"Begitupun dengan saksi lainnya, bukti, dan petunjuk, tidak ada yang menegaskan tentang hal itu. Lantas dengan cara pandang seperti apa yang dipakai ketika di antara pemberi dan penerima suap belum terbukti jelas, sehingga saya yang sudah dinyatakan dan bertanggung jawab secara pidana?" kata Imam.
"Seharusnya bila ini dipaksakan menjadi perkara suap, secara logika, Taufik Hidayat juga menjadi tersangka suap sebagai perantara, tidak pandang beliau mengerti atau tidak uang itu harus diapakan dan dikemanakan," imbuhnya.
Dalam kasus ini, KPK menuntut Imam dengan hukuman penjara selama 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa menganggap Imam terbukti menerima suap senilai Rp 11,5 miliar terkait pencarian dana hibah dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Suap diberikan untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun anggaran 2018.
Selain suap, jaksa menyatakan Imam juga terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 8,6 miliar selama menjabat sebagai menteri.
Gratifikasi itu berasal dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan terkait Program Indonesia Emas.
Atas hal itu, jaksa menilai Imam telah terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.
Baca: KPK Yakin Hakim Tak akan Berikan Justice Collaborator ke Imam Nahrawi
Imam juga dinilai terbukti melanggar Pasal 12B ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kedua.
Selain hukuman pokok, jaksa juga menuntut Imam Nahrawi membayar uang pengganti sebesar Rp 19 miliar. Jaksa juga menuntut pencabutan hak politik untuk dipilih menjadi pejabat publik selama 5 tahun setelah menjalani masa hukuman. (tribun network/gle/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.