Bagir Manan: Revisi UU KPK Abaikan Partisipasi dan Pengawasan Publik
Menurut dia, pembentukan UU KPK melanggar azas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian formil dan materil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sidang beragenda mendengarkan keterangan ahli pemohon perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 digelar di ruang sidang pleno lantai II MK, Rabu (24/6/2020).
Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bagir Manan memberikan keterangan terkait revisi UU KPK itu.
Menurut dia, pembentukan UU KPK melanggar azas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Salah satunya, yaitu mengabaikan pendapat dari masyarakat. Aspek demokrasi tidak bisa dilepaskan dari aspek formal pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Baca: KPK Perkuat Sinergi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Daerah
Dia menjelaskan, Indonesia sebagai negara demokrasi mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas azas-azas umum peraturan perundang-undangan yang baik
"Meskipun DPR dan Presiden sebagai wujud demokrasi perwakilan, sangatlah perlu memperhatikan aspek-aspek lain dari demokrasi," ujar Bagir Manan, memberikan keterangan secara virtual di persidangan.
Walaupun, rakyat sudah diwakilkan oleh anggota DPR RI, namun, kata dia, tidak berarti demokrasi hanya dijalankan atau berada di tangan badan perwakilan.
Dia mengungkapkan, tetap dibutuhkan partisipasi publik untuk menjamin perwujudan kehendak rakyat.
"Kurangnya perhatian atau mengabaikan terhadap berbagai pendapat publik dalam pembentukan UU KPK baru dapat dimaknai sebagai tidak menempatkan kehendak publik sebagai suatu prosedur yang semestinya dipertimbangkan dan bahkan harus menjadi arahan dalam pembentukan UU," ujarnya.
Sejak awal proses pembentukan revisi UU KPK, dia menjelaskan, upaya revisi itu sudah menuai kritik dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat sipil, sivitas akademika kampus, hingga para ahli.
Namun, kata dia, DPR maupun pemerintah sama sekali tak merespons atau mempertimbangkan kritik itu. Revisi UU KPK berlanjut. Padahal, dia menilai, partisipasi publik sangat diperlukan untuk menjamin perwujudan kehendak rakyat oleh DPR dan pemerintah, sekaligus kontrol terhadap penguasa.
Selain itu, dia menyoroti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkesan tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian. Hal ini, karena revisi UU KPK diselesaikan hanya selama kurun waktu 12 hari.
"Kurangnya transparansi dalam pembentukan UU KPK mengesankan ada inkonsistnsi dengan pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun membangun pemerintah yang bersih, clean government," tambahnya.