Pengamat Militer Imbau Pemerintah Hati-hati dan Perhatikan Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Dia juga menyebut ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan aturan terkait pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer Khairul Fahmi meminta pemerintah berhati-hati dalam pelibatan TNI untuk mengatasi aksi terorisme.
Khairul mengatakan sejauh ini belum ada payung hukum yang jelas terkait ukuran, indikator, ataupun parameter, yang bisa menunjukkan secara jelas, kapan dan bagaimana TNI dapat dan harus melaksanakan tugas perbantuan.
"Karena itu saya berpandangan, jika pemerintah hendak melibatkan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme, aturannya harus dibuat dengan hati-hati dan jelas, pada situasi, area, dan level ancaman seperti apa TNI terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya dan satuan mana saja yang boleh, tidak boleh atau malah harus diperankan," ujar Khairul, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (10/7/2020).
Dia juga menyebut ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan aturan terkait pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
Baca: Perlunya Pengaturan Teknis Terkait Pelibatan TNI Mengatasi Aksi Terorisme
Salah satunya pelibatan TNI tidak boleh berpotensi berlebihan, tumpang tindih dengan leading sector dan peran stakeholder lainnya, dan tidak boleh disalahgunakan.
Dengan begitu, aturan yang ada tidak akan memperbolehkan atau membuka peluang TNI untuk masuk ke ruang penindakan yang digelar dalam kerangka penegakan hukum. Batasan dinilai penting karena dapat menjaga sistem peradilan hukum pidana.
"Jadi menurut saya, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus dikembalikan kepada semangat awal pemisahan antara TNI dan Polri saat reformasi," kata dia.
"Saat itu, pemisahan dilakukan untuk memastikan sistem hukum pidana (criminal justice system) berlangsung lebih baik dengan peran kelembagaan polisi selaku penegak hukum yang terpisah dari TNI sebagai lembaga yang bertugas menjaga kedaulatan dan pertahanan negara," imbuhnya.
Kemudian, Khairul menilai urgensi pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tak bisa digeneralisir. Seperti dalam kasus penanganan kasus Poso di mana jaringan teror bermetamorfosis menjadi kelompok insurgen, menurutnya peran TNI dibutuhkan. Selain karena keterbatasan kemampuan Polri, juga dikarenakan menyangkut kedaulatan negara.
"Tapi kompetensi Polri tentu harus tetap ditingkatkan, karena bagaimanapun pada dasarnya operasi pemberantasan terorisme di dalam negeri adalah upaya penegakan hukum dan keamanan dan pelibatan TNI adalah sebagai bentuk tugas perbantuan. Nah hari ini, Operasi Tinombala sudah tidak lagi melibatkan TNI," jelasnya.
Selain itu, dia mempertanyakan apakah peran TNI juga urgen pada bentuk-bentuk aksi terorisme lainnya. Karena Khairul beranggapan BNPT dan Polri sebenarnya sangat memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengatasinya.
Oleh karenanya, pelibatan itu kemudian lebih tampak sebagai upaya mengakomodir hasrat dan ambisi sejumlah elit TNI untuk cawe-cawe secara lebih menonjol dalam pemberantasan terorisme ketimbang soal urgensi.
"Nah ini akan sangat potensial untuk eksesif, tumpang tindih, menimbulkan konflik sektoral dan menghadirkan wajah pemberantasan teror yang lebih menakutkan daripada ancaman terornya sendiri," jelas Khairul.
Yang dikhawatirkan, kata dia, peran serta TNI yang cukup luas dan kuat dalam fungsi penangkalan dan penindakan akan banyak mengubah wajah penanggulangan terorisme di dalam negeri.