Pemerintah Segera Lacak Aset Hasil Kejahatan di Swiss Seiring Disahkannya UU MLA Indonesia-Swiss
Yasonna Laoly menyebut pemerintah akan mulai melakukan pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Ketika itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintah Indonesia dan Swiss yang bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negara tersebut.
Pembicaraan kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia.
Namun, lantas redup akibat berbagai hambatan, termasuk teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss.
Diskusi kembali hidup di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan perundingan pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali.
Delegasi Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar.
Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 30-31 Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss.
Barulah pada 4 Februari 2019 Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.
Saat membacakan pendapat akhir Presiden atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Indonesia dan Swiss pada Sidang Paripurna DPR, Yasonna menyebut pengesahan RUU itu menjadi UU akan meningkatkan efektivitas kerja sama pemberantasan tindak pidana yang bersifat transnasional meliputi tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana fiskal.
Apalagi, dalam perjanjian tersebut memuat fitur-fitur penting yang sesuai dengan tren kebutuhan penegakan hukum sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana yang dihadapi kedua negara.
"Penyelesaian kasus tindak pidana transnasional ini tidak mudah. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerja sama bilaterlal dan multilateral, khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan," kata Yasonna.