Pengacara Maria Pauline Tawarkan Suap Rp 8 Miliar
Permintaan ekstradisi dikabulkan pengadilan, namun MPL naik banding. Syukur pengadilan tinggi setempat menolak banding MPL.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia berhasil membawa Maria Pauline Lumowa, buron kasus pembobolan Bank BNI sebesar 1,7 triliun, dari Negara Serbia ke Indonesia, Kamis (9/7/2020) siang.
Perempuan yang berstatus warga negara Belanda itu kabur dari Indonesia dan berstatus buron Interpol sejak 2003, namun setahun lalu ditangkap otorita Serbia ketika mendarat di negara itu.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memimpin tim penjemput dari Indonesia setelah pengadilan dan pemerintah Serbia setuju mengekstadisi Maria ke Indonesia.
"Jadi ekstradisi itu bukan settingan dan ujug-ujug (tiba-tiba). Prosesnya lama karena kami harus melakukan lobi-lobi tingkat tinggi dengan otoritas di Serbia,” ujar Yasonna Laoly dalam wawancara eksklusif dengan tim Tribun Network di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Senin (13/7/2020).
Baca: Polri Buka Opsi Gandeng Kejagung Lacak Aset Pembobol Bank BNI, Maria Lumowa
Meski semua prosedur telah dilalui, Yasonna mengakui dihingga perasaan waswas ketika menjemput sang buron kakap yang kabur selama 17 tahun itu.
“Serbia termasuk negara yang mengalami wabah Covid-19. Seandainya ketika menjalani pemeriksaan kesehatan ternyata Maria Pauline Lumowa
dinyatakan psitif Covid-19, bubar semua upaya kita,” ujar Yasonna.
Berikut petikan wawancara dengan kader PDI Perjuangan tersebut.
Apakah pemerintah Belanda berupaya menghalangi ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa?
Pastinya. Sama juga dengan pemerintah kita, manakala ada TKI yang terkena masalah hukum, kita pasti melakukan upaya-upaya perlindungan hukum. Itu kewajiban negara.
Apa bentuk upaya perlindungan hukum yang diberikan pemerintah Belanda?
Mereka melakukan diplomasi, artinya pendekatan-pendekatan kepada Kementerian Kehakiman Serbia supaya permohonan ekstradisi yang diajukan Indonesia tidak diikabulkan dan minta MPL dikembalikan ke Belanda.
Tim kita di sana juga berkali-kali didekati. Pengacara MPL bahkan melakukan upaya suap terhadap otoritas di Serbia.
Asisten Menteri Kehakiman Serbia mengatakan kepada saya ada upaya suap yang dilakukan pengacara MPL.
Pertama, menawarkan suap 100 ribu euro (setara Rp 1,6 miliar), kemudian naik jadi 300 ribu euro (setara Rp 4,8 miliar), tambah lagi 500 ribu euro (setara Rp 8,1 miliar).
Namun pemerintah Serbia tetap komitmen kepada kita. Jadi, kendati tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Serbia, berkat pendekatan dan lobi-lobi yang kami lakukan, mereka (pemerintah Serbia) sepakat mendukung penegakkan hukum Indonesia.
Apakah Anda melaporkan penjemputan Maria Pauline Lumowa ke Presiden Joko Widodo?
Tidak secara langsung, tapi melalui Menteri Sekretaris Negara (Pratikno). Seminggu sebelum saya berangkat ke Serbia, saya rapat dengan Pak Menkopolhukam (Mahfud MD), Mensesneg, KSP (Moeldoko).
Saya sampaikan, saya akan pergi ke Serbia untuk menjemput buron.
Saya sampaikan kepada Pak Mensesneg surat permohonan izin (menjemput buron ke Serbia) kepada Presiden sudah saya kirimkan.
Mengapa harus saya yang menjemput MPL (Maria Pauline Lumowa)? Ya karena ini memerlukan high level diplomacy (diplomasi tingkat tinggi) hukum dan untuk menunjukan keseriusan kita.
Kemenkumham itu adalah central authority (otoritas sentral) dalam konteks penjemputan ini.
Kemudian saya mendapat telepon dari Pak Mensesneg, beliau mengatakan Presiden setuju saya berangkat ke Serbia.
Apa urgensinya memburu Maria Pauline Lumowa dan membawanya ke Indonesia?
Ini bukan kejadian ujug-ujug. Perburuan terhadap Saudari MPL ini dimulai sejak dia di Singapura pada 2003 lalu. Kami mencoba namun tidak berhasil.
Ia kemudian pergi ke Belanda pada 2005.
Kami sudah bersurat kepada pemerintah Belanda untuk memblokir rekening dan aset MPL. Namun tidak direspon.
Pada 29 April 2019, kami mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintah Belanda, belum dijawab.
Setahun kemudian, kami kembali meminta ekstradisi, tapi Belanda menolak.
Apa alasaan pemerintah Belanda menolak permintaan ekstradisi?
Ya karena MPL warga negara Belanda dan kita tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan mereka.
Pemerintah Belanda menyatakan sejak 11 Oktober 1979 MPL sudah menjadi warga negara Belanda. Tiba-tiba MPL pergi ke Serbia.
Kami belum tahu apa tujuan ke Serbia, apakah liburan atau ada urusan bisnis. Karena namanya masih ada di dalam red notice, NCB Interpol Serbia melakukan penangkapan terhadap MPL.
Pada 31 Juli 2019 kami mengajukan permohonan ekstradisi kepada Menteri Kehakiman Serbia, selanjutnya 3 September minta percepatan ektradisi karena kami tahu ada batas waktu penahanan terhadap MPL.
Pemerintah Serbia membawa permohonan ekstradisi dibawa ke pengadilan.
Permintaan ekstradisi dikabulkan pengadilan, namun MPL naik banding.
Syukur pengadilan tinggi setempat menolak banding MPL.
Mulai Desember 2019, tim yang terdiri dari sejumlah instansi mulai bergerak.
Apakah pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada Serbia sehingga bersedia mengekstradisi MPL?
Tidak ada kompensasi. (Ekstradisi MPL) karena hubungan baik dan kita berhasil meyakinkan pemerintah Serbia.
Namun kami bawa bantuan alat kesehatan terkait penanggulangan pandemi Covid-19.
Bantuan itu jangan dilihat nilainya yang tidak seberapa tapi wujud solidaritas sebagai sahabat. (dennis)