Sambangi BPIP, Perwakilan Masyarakat Dayak Sampaikan Dukungan pada RUU PIP
Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi menjelaskan nasionalisme di dalam Pancasila menyatukan semua agama, suku, ras dan golongan di Indonesia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah Pimpinan Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHDN) yang berasal dari lima provinsi di Kalimantan mengunjungi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Istana Negara Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Kunjungan tersebut bertujuan menyampaikan dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Badan Pembina Ideologi Pancasila yang akan menjadi pelaksana Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Dr Yudian Wahyudi menerima kunjungan pimpinan Suku Dayak dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara tersebut.
Baca: RUU PIP Jaga Eksistensi Pancasila Sebagai Ideologi & Identitas Indonesia
Ketua Umum MHADN, Askiman (Wakil Bupati Sintang), dalam kesempatan itu menyampaikan pokok-pokok pikiran pengamalan ideologi Pancasila sebagai produk budaya Bangsa Indonesia, yang harus berlandaskan kebudayaan masing-masing suku bangsa di Indonesia.
“Di kalangan Suku Dayak, harus sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak,” ujar Askiman dalam keterangannya.
Masalah pengamalan ideologi Pancasila, Koordinator DIO Provinsi Kalimantan Timur, Jiuhardi, mendesak Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara hukum, harus tegas dan jelas di dalam menegakkan ideologi Pancasila, di dalam tindakan dan perilaku masyarakat Bangsa Indonesia, sehingga ada efek jera yang dapat menimbulkan keharmonisan lintas budaya (terutama agama) yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Pengingkaran terhadap keberagaman kebudayaan di Indonesia, berarti pengingkaran terhadap hakekat ideologi Pancasila,” kata Jiuhardi.
Menurut Jiuhardi, dalam mewujudkan Pembinaan Ideologi Pancasilan (PIP) harus menjadi payung hukum berupa struktur kelembagaan operasional dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Daerah.
“Lembaga operasi PIP, demi menciptakan keselarasan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat Bangsa Indonesia yang berkeadilan serta merata dalam kebersamaan dan keserasian,” ujar Jiuhardi.
Menurut Jiuhardi, dibutuhkan produk perundang-undangan khusus sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila, sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar 1945, sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan dalam keutuhan NKRI.
“Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97/PUU-XIV/2016, tanggal 7 Nopember 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pengakuan terhadap keberadaan agama asli di Indonesia dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan,” ungkap Jiuhardi.
Menurut Jiuhardi, harus dipisahkan antara agama sebagai sumber keyakinan iman dan Pancaslia sebagai filosofi etika berperilaku segenap lapisan masyarakat. Karena masalah agama di dalam ideologi Pancasila, sudah final dan mengikat, sudah tidak bisa diungkit-ungkit lagi, karena sudah diatur di dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa.
Karena masalah agama, lanjut Koordinator DIO Provinsi Kalimantan Selatan, Abdussani, adalah soal keyakinan iman, hubungan personil seseorang dengan Tuhan, sementara ideologi Pancasila sebagai filosofi etika berperilaku masyarakat dengan penekanan akan aspek penghargaan akan keberagaman dan kebhinekaan.
Dikatakan Abdussani, tidak bisa bicara masalah agama sebagai sumber keyakinan iman, saat bersamaan bicara masalah Pancasila sebagai ideologi negara.