Gara-gara UU Corona, Kemendes PDTT Dikhawatirkan Tak Lagi Memiliki Peran Kelola Dana Desa
Sebab, aturan hukum yang mengatur fungsi dan peran Kemendes PDTT terkait DD telah dinyatakan tidak berlaku menurut Undang-Undang (UU) Corona.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dianggap tidak lagi memiliki peran Pengaturan dalam pengelolaan Dana Desa (DD).
Sebab, aturan hukum yang mengatur fungsi dan peran Kemendes PDTT terkait DD telah dinyatakan tidak berlaku menurut Undang-Undang (UU) Corona.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara Dimyati Dahlan.
Menurut Dimyati, hilangnya kewenangan Kemendes itu merujuk pasal 28 ayat 8 UU Corona yang menyebut pasal 72 ayat (2) dan pasal 72 ayat (1) huruf (b) UU Nomor 6/2014 tentang Desa beserta penjelasannya dinyatakan tidak berlaku.
”Artinya Dana Desa yang bersumber dari APBN 'versi' UU 6 Pasal 72 ayat (2) sudah tidak ada, sementara fungsi sebagaimana Perpres 12 tahun 2015 tentang Kemendes, Kemendes fungsinya mengatur Dana Desa, mereka (Kemendes PDTT) mau kerja apa kalau payung hukumnya tidak ada?,” kata Dimyati dalam keterangannya, Kamis (16/7/2020).
Baca: Perkuat Pengawasan Dana Desa, KPK dan Kemendes PDTT Sepakati Pertukaran Data dan Informasi
Dimyati menjelaskan Kemendes itu ada karena UU Desa. Sementara roh UU Desa itu ada dalam pasal 72 ayat (2). Kemendes bekerja mengatur prioritas DD atas perintah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2015 tentang DD yang Bersumber dari APBN. Tepatnya pasal 21 ayat (1) yang berbunyi "Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menetapkan prioritas penggunaan DD sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran".
Perintah pengaturan DD itu juga diatur dalam PP 22/2015 dan Perubahan PP 60/2014 tentang DD.
"PP itu ada melaksanakan perintah pasal 72 ayat (2) UU Desa, kalau pasal itu (72 ayat 2) UU Desa) tidak berlaku, Kemendes ya buyar," tuturnya.
Dimyati juga menilai kewenangan Kemendes dalam mengelola mengatur menetapkan prioritas Dana Desa untuk bantuan langsung tunai (BLT) selama tiga bulan di masa pandemi Covid-19 juga gugur.
Sebab, Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 6/2020 dan Nomor 7/2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020 sebagai payung hukum pelaksanaan BLT tidak punya kekuatan hukum mengikat sebagaimana pasal 8 UU 12 tahun 2011.
Kewenangan Kemendes juga teramputasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/2020 tentang Pengelolaan Dana Desa yang terbit pada 19 Mei 2020. Dalam PMK itu mengatur pelaksanaan pemberian BLT selama enam bulan di masa pandemi Covid-19.
”Secara tidak langsung, Permendes itu (yang mengatur BLT tiga bulan di masa pandemi) gugur dengan sendirinya tidak memiliki kewenangan ,” ungkap Dimyati.
Berdasarkan pasal (8) UU 12 tahun 2011, "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Menteri, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan Peraturan Menteri Keuangan.
PMK 50/2020 itu memiliki pijakan yang lebih kuat untuk dijalankan ketimbang Permendes.
Hal itu juga merujuk pada pasal 2 ayat (2) Lampiran UU Nomor 2/2020 yang berbunyi ; Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Menurut Dimyati, dari ketentuan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa peran dan fungsi Menteri Desa PDTT sejatinya telah hilang dalam pengaturan DD.
"Menteri desa itu seperti bapaknya wong deso (orang desa). Bapak dan anak sama sama terkena dampak UU Nomor 2 Tahun 2020,” ujar mantan aktivis antikorupsi asal Madiun ini.
Sementara itu, UU Corona yang menimbukan ketidakpastian DD itu tengah digugat oleh sejumlah kepala desa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dimyati menyebut, total pemohon gugatan uji materi (judicial review) kini menjadi 27 dari sebelumnya hanya 2 orang.
Pemohon itu berlatar belakang kepala desa dan badan permusyawaratan desa (BPD) yang berasal dari 21 desa di 12 kabupaten dan 7 provinsi di Indonesia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.