Hasto: Pilkada Serentak 2020 Akan Gerakkan Perekonomian Daerah
Sebab bagi PDIP, pilkada adalah pematangan demokrasi sehingga rakyat bisa memilih siapa pemimpinnya.
Editor: Hasanudin Aco
Di satu hal kepala daerah harus bisa memberikan jawaban yang jelas terhadap agenda mendorong program padat karya, di hal lain adalah bagaimana menciptakan mendorong belanja.
"Anggaran penyelenggaraan pilkada dari pemerintah berjumlah Rp15 Triliun. Lalu akan didorong lagi oleh kemampuan partai politik dan gotong royong para calon kepala daerah. Maka ini mampu menjadi stimulus bagaimana pilkada menghadirkan belanja nasional," kata Hasto.
"Dengan demikian stimulus ekonomi inilah yang kami harapkan menjadi angin harapan bagi rakyat untuk bersama dengan calon pemimpin dapat mengatasi persoalan akibat pandemi," tambah Hasto.
PDIP sendiri memastikan para calon kepala daerahnya agar melakukan sosialisasi pencegahan Covid-19.
Dalam rangka itu pula, para calon tersebut akan terlebih dulu dididik melalui sekolah partai yang akan dimulai pada 19 Agustus.
Selain itu, pelatihan saksi sudah dilaksanakan partai itu sebanyak 6 kali.
Semua hal itu dilakukan dalam kerangka bahwa konsolidasi demokrasi menempatkan rakyat sebagai hakim tertinggi. Dan PDIP akan selalu memastikan dirinya dan calonnya untuk selalu satu dengan kehendak rakyat.
"Karena itulah partai menyiapkan dengan sebaiknya agar partai bisa memenangkan hati rakyat. Dengan demikan, sebagai proses pematangan demokrasi, kami berharap mereka yang dipersiapkan PDI Perjuangan benar-benar mampu menjawab tantangan rakyat di tengah pandemi ini," pungkasnya.
Pengamat Politik dari Indikator Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa dirinya setuju jika pelaksanaan pilkada serentak memang bisa memiliki dampak baik terkait pembelanjaan domestik yang meningkat.
Namun di sisi lain, 63 persen responden dari survei Indikator Indonesia menunjukkan mereka masih berpikir pilkada harus ditunda.
Burhanuddin sendiri mengatakan pilkada masih memungkinkan dilaksanakan tahun ini, namun dengan sejumlah catatan.
Pertama, Pemerintah, DPR, serta lembaga penyelenggara pemilu harus menunjukkan sinyal solid, bahwa apa yang dihadapi dalam kondisi covid ini bisa dimitigasi dengan protokol kesehatan ketat.
"Jadi ketika ada pelanggaran disiplin dan sanksi, harus tegas. Apalagi sudah ada Inpres 6/2020. Dengan begitu, dari responden yang meminta penundaan, bisa merubah pikirannya," kata Burhanuddin.
Kedua, perlu ada penyesuaian tahapan kampanye hingga pemungutan suara. Pengalaman pemilu di sejumlah negara di masa pandemi, adaptasi proses pemungutan itu cukup lama. Termasuk pelanggaran sanksi sesuai Inpres harus ditegakkan.