Wacana Pendidikan Militer, Kemendikbud Gagal Paham Lihat Kebutuhan dan Prioritas Dunia Pendidikan
wacana tersebut memperlihatkan Kemendikbud yang gagal paham akan prioritas pendidikan saat ini.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merekrut mahasiswa untuk terlibat dalam latihan militer melalui program bela negara dengan cara para mahasiswa mengikuti pendidikan militer satu semester.
Terkait hal itu, peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menilai wacana tersebut memperlihatkan Kemendikbud yang gagal paham akan prioritas pendidikan saat ini.
"Melalui wacana kerjasama ini, yang terlihat justru pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, gagal paham dalam melihat kebutuhan dan prioritas dunia pendidikan. Dengan sejumlah persoalan beberapa waktu kebelakang yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, Kemendikbud malah mengaminkan militerisasi sektor pendidikan," ujar Ikhsan, dalam keterangannya, Rabu (19/8/2020).
Baca: Soal Usul Pendidikan Militer untuk Mahasiswa, Wamenhan Klarifikasi: Itu Bela Negara
Selain itu, wacana kebijakan tersebut menurut Ikhsan mencerminkan tiga hal. Pertama, terjadinya militerisasi sektor pendidikan, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT).
Dia mencontohkan pada Juni 2019 lalu, Kemendikbud juga telah menggandeng TNI untuk membina para peserta didik baru yang difokuskan pada karakter nasionalisme siswa dengan materi mengacu pada Kemendikbud.
Adapun karakter utama yang diajarkan adalah mengenai nasionalisme yang bertujuan untuk menangkal paham radikalisme dikalangan siswa, yang akan dilaksanakan pada masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) mulai jenjang SD, SMP, SMA dan SMK.
Kedua, Ikhsan mengatakan secara lebih spesifik juga terjadi militerisasi program Bela Negara dan makna nasionalisme. Padahal Pasal 6 ayat (2) UU PSDN menyebutkan salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi.
"Sehingga, tentu menjadi pertanyaan, dalam dunia kampus yang notabene dunia akademik, mengapa bentuk bela negara yang dicanangkan bersifat militeristik? Hal ini tentu tidak relevan, karena seharusnya yang dicanangkan adalah pengabdian sesuai dengan profesi," jelasnya.
Dalam konteks nasionalisme, Ikhsan melihat apa yang disampaikan Wakil Menteri Pertahanan Trenggono bahwa kerjasama tersebut dilakukan agar generasi milenial juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari, tentu mempersempit makna nasionalisme, bahkan mempersempitkannya pada ranah militeristik.
"Padahal pemahaman dan pengaplikasian nasionalisme akan beragam sesuai dengan bidang masing-masing. Misalnya, para atlet yang mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia, kurang nasionalis apa? Kemendikbud seharusnya fokus untuk melahirkan insan-insan yang kritis, inovatif, dan bergagasan melalui sistem pendidikan nasional kita," ungkapnya.
Ketiga, SETARA juga menyoroti kerjasama dua belah pihak tersebut berpotensi semakin memperluas peran militer dalam ranah sipil, karena tentu yang akan menjadi instruktur dalam pelatihan militer di kampus tersebut adalah TNI aktif.
Menurut Ikhsan, persoalan ini berefek domino kepada ketidakterpenuhan ihwal kebijakan dan keputusan politik negara sebagai landasan bergeraknya TNI seperti yang diatur pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
"Upaya-upaya untuk melibatkan TNI untuk tugas-tugas diluar tupoksi utamanya, tentu memiliki aturan main yang harus ditaati. Namun, pada Pasal 7 ayat (2) UU TNI, dari 14 item yang termasuk dalam OMSP, tidak ada satu pun poin yang menyebut sektor pendidikan atau pun sekedar berkaitan dengan sektor pendidikan menjadi bagian dari OMSP," tandasnya.