Rizal Ramli Buka Peluang Nyapres 2024, Jika Gugatan Dikabulkan
peralihan sistem otoriter ke sistem yang demokratis pasca Presiden Soeharto, menjadi satu wujud yang bersifat kriminil disaat ini.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Rizal Ramli membuka peluang untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) pada tahun 2024, mendatang.
Tentunya, hal itu mungkin dilakukan Rizal Ramli jika gugatan uji materi atau Judicial Review (JR) Presidential Trasehold (PT) 20 persen dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan Rizal Ramli saat menjawab pertanyaan awak media, apakah dari tokoh-tokoh yang mengajukan Judicial Review akan maju jadi capres 2024?
"Saya dari muda berjuang untuk demokrasi dan keadilan, supaya demokrasi bekerja buat rakyat. Seandainya kita berhasil jebol trasehold ini, baru lah kita putuskan mau maju tahap berikutnya atau tidak," kata Rizal Ramli di Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (4/9/2020).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu pun mengungkapkan alasan mengajukan gugatan PT.
Menurutnya, peralihan sistem otoriter ke sistem yang demokratis pasca Presiden Soeharto, menjadi satu wujud yang bersifat kriminil disaat ini.
Baca: Rizal Ramli: Saat Ini Terjadi Demokrasi Kriminal
Sehingga, perlunya perubahan yang menjunjung tinggi nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Hal itu menjadi alasannya mengajukan gugatan ambang batas pencalonan Presiden 20 persen yang tertuang dalam Undang-undang pemilihan umum (UU Pemilu) no 7 tahun 2017.
"Awalnya bagus (demokrasi,red), tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," ucap Rizal.
Rizal pun memberikan gambaran terkait demokrasi yang bersifat kriminil tersebut.
Yakni, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden harus menyiapkan mahar politik untuk mendapatkan dukungan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR partai politik, atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
"Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara Rp 30 sampai Rp 50 miliar. Ada yang mau jadi gubernur harus nyewa partai dari Rp 100 miliar sampai Rp 300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi," jelas Rizal Ramli.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.