Istana Sebut Pendapat MK Soal Wamen Rangkap Jabatan Tak Mengikat, Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara
MK putuskan bahwa Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menangapi peryataan Staf khusus Presiden Dini Purwono soal pendapat Mahkamah Komstitusi (MK) yang menyebutkan jabatan Wakil Menteri tidak boleh rangkap jabatan.
Menurut Fahri Bachmid, apa yang disampaikan Dini bahwa pendapat MK ini sifatnya tidak mengikat karena bukan bagian dari keputusan MK, adalah tidak cermat,bias dan tidak komprehensif dalam membaca dan memahami hakikat putusan MK.
Tentunya, dalam konteks bagaimana membangun eksplanasi filsafati,teoritisi dan praktis mengenai kekuatan mengikat pertimbangan hukum putusan MK itu sendiri,
Baca: Istana Tanggapi Larangan Rangkap Jabatan Wamen yang Dikeluarkan MK
"Karena beliau hanya melihat putusan MK sekedar pada teknis amarnya saja secara terbatas, sehingga tidak utuh dan bulat dalam memahami pesan konstitusional yang lebih substantif dan prospektif, serta kaidah yang terdapat dalam tafsir hakim MK sekaitan dengan larangan rangkap jabatan oleh Wamen itu," kata Fahri Bachmid kepada Tribunnews.com, Senin (7/9/2020).
Fahri Bachmid, menambahkan, dalam pertimbangan putusan MK telah menegaskan bahwa Wamen adalah pejabat negara.
Baca: Arya Sinulingga: Rangkap Jabatan Wamen di BUMN Masuk dalam Pertimbangan MK
Karena itu, Wamen tidak boleh rangkap jabatan baik sebagai komisaris BUMN atau jabatan lain sebagaimana larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti diatur UU Kementerian Negara, artinya hakim MK telah melakukan tafsir secara otoritatif atas permasalahan tersebut, dan ratio legis dalam konteks norma itu telah jelas dan tegas sebagaimana tafsir yang dilakukan oleh MK itu,
"Dengan demikian menjadi wajib untuk presiden melaksanakan putusan itu, sesuai mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK dalam putusan 'a quo' tanpa ada pengecualian," ucapnya.
Fahri Bachmid menjelaskan, sejak diputuskan MK pada Kamis (27/8/2020) yang dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka secara prospektif, Presiden dan/atau Menteri BUMN wajib segera mencopot Posisi Komisaris di BUMN yang diduduki oleh Wamen agar fokus membantu Menteri dalam menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya sesuai putusan MK.
Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima uji materi Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait konstitusionalitas jabatan wakil menteri (Wamen) yang dapat diangkat oleh Presiden sesuai kebutuhan.
Baca: Ombudsman Surati Presiden Minta Perjelas Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Dengan begitu, pranata jabatan Wamen tetap dianggap konstitusional sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011, tetapi dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah melarang Wamen merangkap jabatan lain sebagaimana ketentuan larangan yang berlaku pada menteri.
Dalam putusan itu, MK putuskan bahwa Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan a quo. dan dalam Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, serta Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” hal demikian berdasar pada Putusan MK nomor : 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada tanggal 27/08/2020.