Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK Menurut Para Pakar: Mati Surinya Pemberantasan Korupsi

Dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN akan sangat mungkin terjadi benturan konflik kepentingan

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK Menurut Para Pakar: Mati Surinya Pemberantasan Korupsi
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi korupsi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) FH UGM pada Selasa (22/9/2020) mengadakan diskusi dengan tema 'Refleksi Satu Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)-nya Pemberantasan Korupsi.'

Diawal diskusi, Ketua PUKAT UGM Oce Madril memberikan catatan napak tilas tentang gerakan publik yang sejak lama melawan upaya pelemahan KPK.

“Setidaknya sejak tahun 2012 KPK ingin dilemahkan dengan berbagai cara. Namun publik selalu hadir untuk melawan upaya tersebut. Termasuk juga perlawanan publik terhadap revisi UU KPK yang terjadi akhir tahun lalu," kata Oce.

Kemudian, mantan Ketua KPK Busyro Muqqodas menyampaikan, revisi UU KPK tak ubahnya menjadikan KPK hanya sebatas aparat pemerintah dan tidak lagi sesuai dengan amanat reformasi sebagaimana lembaga ini dibentuk.

“Apalagi dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN akan sangat mungkin terjadi benturan konflik kepentingan,” ucap Busyro.

Baca: KPK Terus Selisik Aset-aset Milik Nurhadi dan Menantunya

Baca: Kejagung Periksa 8 Saksi Dari Pihak Perusahaan Manajer Investasi Terkait Kasus Korupsi Jiwasraya

Sementara, Ketua YLBHI Asfinawati merefleksikan bahwa gerakan publik untuk mengawal pelemahan KPK tidak jarang menghadapi permasalahan seperti kriminalisasi atau mencelakai baik fisik maupun non-fisik.

BERITA TERKAIT

Asfinawati menyatakan ke depan, isu korupsi haruslah menjadi isu rakyat.

“Advokasi gerakan antikorupsi juga harus berjalan seiringan dengan advokasi untuk mengawal RUU Omnibus Law atau isu kriminalisasi. Kenapa? Karena semua skenario ini adalah skenario oligarki," ujar Asfinawati.

Sedangkan, Pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyebut KPK hari ini mengalami kenormalan yang baru.

“Kalau dulu kenormalan KPK adalah memberantas korupsi, mengejar pelaku korupsi dengan baik, tidak bersahabat dengan koruptor dan bergaya hidup sederhana. Namun kenormalan yang sekarang justru sebaliknya," tutur Zainal.

Terakhir, Koodinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid memaparkan bahwa realitanya kepercayaan publik terhadap KPK hari ini mulai menurun.

Padahal tanpa ada institusi yang dipercaya, maka agenda pemberantasan korupsi seperti tanpa lokomotif.

“Jika kepercayaan publik dari KPK rendah, maka speed untuk membangun tatanan atau agenda pemberantasan korupsi juga akan ikut menurun,” ujar Alissa.

Sebagaimana diketahui, pada 17 September 2019 DPR bersama Presiden mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU 19/2019.

Revisi tersebut mendapat penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Tokoh agama, tokoh masyarakat, buruh, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya menggelar aksi penolakan dalam berbagai bentuk. Tagline #ReformasiDikorupsi digunakan sebagai pernyataan bahwa amanat reformasi telah dikhianati. Demonstrasi mahasiswa masif di seluruh Indonesia.

Meski demikian, proses revisi tetap berjalan. 5 September 2019 rapat paripurna DPR menetapkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR. 17 September 2019 rapat paripurna DPR mengesahkan revisi UU KPK.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas