Politikus Demokrat Sebut Kasus Djoko Tjandra Bukan Sekadar Soal Hukum, Tapi Gesekan di Tingkat Elit
Rachland Nashidik menilai kasus Djoko Tjandra bukan hanya sekadar kasus hukum, tetapi adanya sistem plutokrat dalam politik Indonesia.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai kasus Djoko Tjandra bukan hanya sekadar kasus hukum, tetapi adanya sistem plutokrat dalam politik Indonesia.
"Tentu bukan tanpa pertimbangan dan akses politik, bila pengusaha yang sudah dikenal sejak jaman Orde Baru ini, baru sekarang mendapat keberanian untuk menyelundupkan dirinya kembali ke Indonesia," kata Rachland Nashidik dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (23/9/2020).
"Sebaliknya, bahwa upayanya gagal, belum tentu itu disebabkan oleh perkasanya hukum kita. Bisa jadi ia gagal karena gesekan atau kompetisi politik di tingkat elit," sambungnya.
Baca: Lengkapi Berkas Perkara Djoko Tjandra, Kejagung Periksa Dua Pejabat Imigrasi
Selain itu, Rachland juga menyebut serangan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Jaksa Agung, yang melampirkan bocoran cetak komunikasi pihak-pihak diduga terlibat, menguatkan kesan adanya gesekan di tingkat elit itu.
"Bagaimana bisa mereka mendapat cetak komunikasi yang bagi warga negara biasa terbilang mustahil, bahkan terlarang?" katanya.
Baca: Jaksa Pinangki Didakwa Terima Suap 500 Ribu Dolar AS dari Djoko Tjandra
Menurutnya, Jaksa Agung yang diserang dengan bukti-bukti bersifat tidak langsung, juga menunjukkan suatu adanya kompetisi dan gesekan di internal Gedung Bundar itu sendiri dan pihak luar yang berkepentingan.
"Hemat saya, kasus Djoko Tjandra perlu ditangani oleh para penegak hukum dengan semangat merah putih. Biarlah bukti-bukti hukum semata yang nanti menunjukkan siapa saja terlibat dan bersalah," katanya.
Berikut 3 kasus yang menjerat Djoko Tjandra:
1. Kasus penerbitan surat jalan dan bebas Covid-19 palsu
Kasus surat jalan dan bebas Covid-19 palsu ditangani Bareskrim Polri.
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan 3 orang tersangka, di antaranya Djoko Tjandra, Anita Kolopaking selaku pengacara Djoko Tjandra, dan mantan Karo Korwas Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Surat jalan palsu yang dikeluarkan Brigjen Pol Prasetijo Utomo digunakan Djoko Tjandra untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP), paspor, dan perjalananya selama di Indonesia ketika masih menjadi buronan interpol.
Baca: Penjelasan Mahkamah Agung soal Polemik Fatwa Hukum Djoko Tjandra
Kemudian surat bebas Covid-19 palsu digunakan Djoko Tjandra agar bisa keluar dari Indonesia ke Malaysia.
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra dijerat pasal 263 ayat 1 dan 2, pasal 246 dan pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.
2. Kasus penghapusan red notice
Dalam kasus ini, Bareskrim Polri menetapkan empat orang tersangka, di antaranya Djoko Tjandra dan seorang pengusaha bernama Tommy Sumardi selaku pemberi suap.
Kemudian dua tersangka lainnya dari unsur kepolisian yakni mantan karo Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
Dalam kasus ini, Polri menyita sejumlah barang bukti.
Di antaranya uang pecahan dollar, surat, ponsel, laptop, hingga rekaman CCTV.
"Kemudian ada barang bukti berupa uang 20.000 USD, ada surat, ada HP, ada laptop dan ada CCTV yang kita jadikan barang bukti," tandasnya.
Baca: Kejaksaan Agung RI Sebut Sosok Ini yang Perkenalkan Jaksa Pinangki Kepada Djoko Tjandra
Dalam kasus ini, tersangka yang pemberi hadiah yaitu Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi dijerat pasal 5 ayat 1, pasal 13 UU nomor 20 tahun 2002 tentang tindak pidana korupsi junto pasal 55 KUHP.
Sementara itu, tersangka penerima hadiah yaitu Brigjen Prasetijo dan Napoleon dikenakan pasal 5 ayat 2, pasal 11 dan 12 huruf a dan b UU nomor 20 tahun 2002 tentang tindak pidana korupsi junto pasal 55 KUHP.
Dalam penanganan kasus ini, kepolisian pun telah melakukan rekonstruksi.
Rekonstruksi digelar di Gedung Transnational Crime Coordination Centre (TNCC) Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020) pagi.
Baca: Periksa Djoko Tjandra, Kejagung Dalami Aliran Dana Terhadap Pinangki yang Sempat Dibelikan Mobil BMW
Ditemui usai rekontruksi Irjen Pol Napoleon Bonaparte membantah dirinya mengenal Tommy Sumardi.
"Nggak (Kenal Tommy Sumardi, Red). Sebelumnya tidak, sekarang sering ketemu," kata Napoleon.
Sementara itu, kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte, Gunawan Raka mengatakan kliennya tak pernah mengenal Tommy Sumari sebelum kasus tersebut mencuat.
"Mungkin gini, Jenderal Napoleon Bornaparte tidak pernah kenal dengan yang namanya Tommy Sumardi sebelum ada persoalan ini menjadi gaduh. Jadi, tidak mengenal secara pribadi," katanya.
3. Kasus suap jaksa
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 orang tersangka yakni Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono mengatakan Djoko Tjandra diduga meminta bantuan kepada Jaksa Pinangki untuk mengurus fatwa agar dirinya tidak dieksekusi Kejagung.
Alasannya saat itu, tersangka masih berstatus buronan dan terpidana kasus korupsi Cassie bank Bali.
Baca: Wakil Jaksa Agung Jawab Tudingan Tidak Eksekusi Uang Hasil Korupsi Djoko Tjandra Rp 546 Milliar
"Kepengurusan fatwa yang diinginkan kira-kira bahwa tersangka JST ini statusnya adalah terpidana. Bagaimana caranya mendapatkan fatwa agar tidak dieksekusi oleh eksekutor yang dalam hal ini Jaksa. Jadi konspirasinya adalah perbuatan agar tidak dieksekusi oleh Jaksa meminta fatwa," kata Hari di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Dalam kasus ini, Djoko bakal dijerat dengan pasal berlapis oleh Kejaksaan Agung RI.
Di antaranya, pasal 5 ayat 1 huruf A undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001.
Selain itu, Djoko Tjandra disangka melanggar pasal 5 ayat 1 huruf b dan pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.