Survei SMRC: ISIS dan LGBT Lebih Tidak Disukai Publik Ketimbang Komunis
berdasarkan survei tersebut kelompok yang paling tidak disukai warga adalah ISIS dengan persentase 23 persen.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Mei 2018 sampai April 2019 lalu menyimpulkan kelompok Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) dan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) lebih tidak disukai ketimbang komunis.
Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas mengatakan berdasarkan survei tersebut kelompok yang paling tidak disukai warga adalah ISIS dengan persentase 23 persen.
Sedangkan pada urutan kedua adalah kelompok LGBT dengan persentase 15,3 persen.
Sirojudin menyampaikan hasil survei tahun lalu tersebut untuk memberikan gambaran tentang isu-isu terkait dengan survei bertajuk Sikap Publik Atas Kebangkitan PKI yang dirilis secara virtual pada hari ini Rabu (30/9/2020).
"Kita cek ternyata urutan tertingginya warga menyebutkan yang paling tidak disukai itu adalah ISIS 23 persen yang kedua LGBT 15,3 persen, lalu komunis 14 persen. Ini menarik juga karena mirip dengan temuan survei minggu lalu, dan orang yang tidak percaya Tuhan alias ateis 11,5 persen," kata Sirojudin.
Ia juga menjelaskan secara umum trend isu kelompok paling tidak disukai masyarakat dari Mei 2018 sampai Bulan April 2019.
Ternyata, kata Sirojudin, menurut hasil survei tersebut 36 persen warga tidak menyukai kelompok ISIS pada Mei 2018.
Kemudian persentase tersebut menurun di September 2018 menjadi 23 persen dan selanjutnya stabil di kisaran 21 sampai 24 persen sampai pada April 2019.
"Sedangkan kelompok yang lain LGBT, Komunis, dan Yahudi relatif stabil. LGBT di kisaran 13 sampai 15 persen, sementara PKI antara 13 sampai 14 persen. Kelihatannya tidak banyak berubah sampai temuan survei kita minggu lalu," kata Sirojudin.
Baca: Warga yang Setuju Sedang Terjadi Kebangkitan PKI Relatif Tidak Banyak dan Tetap dari Waktu ke Waktu
Sirojudin menjelaskan sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada warga pada saat itu ada dua.
Pertama, dalam masyarakat kita biasa ditemukan ada warga yang tidak suka lada kelompok tertentu, bagaimana dengan Ibu/Bapak sendiri, apakah ada dari kelompok-kelompok berikut yang paling tidak disukai?
"Kemudian kalau ada nama kelompok lain yang tidak tertulis di daftar tersebut, tolong disebutkan," kata Sirojudin.
Sebelumnya SMRC merilis hasil survei berjudul Sikap Publik Atas Isu Kebangkitan berdasarkan temuan survei nasional yang dislenggarakan pada 23 sampai 26 September 2020.
Sirojudin menyampaikan sejumlah kesimpulan dari survei tersebut secara virtual pada Rabu (30/9/2020).
"Kesimpulannya saya bacakan saja, bahwa warga yang setuju bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI ini relatif tidak terlalu banyak dan tetap dari waktu ke waktu. Hanya 36 persen yang tahu pendapat sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI di tanah air. Dari yang tahu, sekitar 36 persen atau 14 persen dari populasi setuju dengan pendapat tersebut dan 61 persen atau 22 persen dari populasi tidak setuju," kata Sirojudin.
Ia juga menyampaikan temuan survei nasional dari Juni 2016 sampai September 2020 memperlihatkan bahwa warga yang setuju dengan isu sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI tidak banyak berubah yakni hanya berkisar 10 sampai 16 persen.
Sebanyak 46 persen warga juga percaya bahwa isu kebangkitan PKI dihembuskan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu dan sebetulnya tidak nyata.
"Hanya 22 persen yang percaya bahwa kebangkitan PKI itu nyata adanya," kata Sirojudin.
Selanjutnya survei tersebut juga menemukan sebanyak 47 persen warga percaya bahwa hubungan dengan RRC atau dengan Tiongkok tidak ada kaitannya dengan kebangkitan komunis, melainkan untuk kepentingan ekonomi bersama.
"Yang percaya hubungan itu terkait dengan kebangkitan komunisme dan PKI di Indonesia hanya sebanyak 26 persen," lanjut Sirojudin.
Sedangkan analisis demografi survei tersebut, kata Sirojudin, juga menemukan bahwa awareness (kesadaran) tentang isu kebangkitan PKI lebih tinggi di kelompok laki-laki, warga perkotaan, dan tinggal di daerah Sulawesi, Jateng dan DIY, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Sedangkan tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok laki-laki, tinggal di Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera.
"Kemudian awareness tentang isu kebangkitan PKI lebih tinggi pada warga dengan pendidikan tinggi. Sementara tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok berpendidikan rendah," kata Sirojudin.
Selain itu kesadaran tentang isu kebangkitan PKI, kata Sirojudin, lebih tinggi pada kelompok beragama Islam dan beretnis Minang.
Sementara tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok beragama Islam dan beretnis Betawi dan Minang.
Tingkat kesadaran terhadap isu kebangkitan PKI, kata Sirojudin, relatif lebih tinggi di kelompok pemilih PKS.
Di antara yang aware tersebut, kata Sirojudin, tingkat kesetujuan terhadap isu tersebut lebih tinggi di kelompok pemilih partai NasDem.
"Awareness dan tingkat kesetujuan terhadap isu kebangkitan PKI di kelompok pemilih Prabowo-Sandi terlihat lebih tinggi dibanding pemilih Jokowi-Maruf Amin," kata Sirojudin.
Sementara dari 14 persen yang setuju dengan isu kebangkitan PKI ada 79 persen atau 11 persen dari total populasi yang menilai kebangkitan PKI saat ini sudah menjadi ancaman.
"Dan dari 11 persen yang menilai sudah menjadi ancaman, kata Sirojudin, mayoritas atau 8 persen dari populasi merasa pemerintah kurang atau tidak tegas sama sekali dengan ancaman kebangkitan PKI tersebut," kata Sirojudin.