Arief Poyuono : Buruh Mogok Otomatis karena Pemberlakuan PSBB Ketat hingga Pembubaran BUMN
Arief juga menyinggung pada pekerja di belasan BUMN yang harus merasakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jutaan buruh bakal menggelar aksi unjuk rasa serempak secara nasional yang diberi nama Mogok Nasional.
Aksi mogok merupakan bentuk penolakan terhadap 10 isu yang diusung oleh buruh dalam Omnibus Law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Ketua Umum FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono melihat sebenarnya para buruh sudah secara otomatis mogok dikarenakan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ketat.
PSBB itu, kata Arief, membuat banyak buruh dan pekerja yang akhirnya menjadi dirumahkan.
"Mau mogok gimana? Wong memang sudah mogok otomatis, karena banyak buruh dan pekerja yang dirumahkan akibat dampak pemberlakuan PSBB ketat seperti yang dilakukan Anies Baswedan," ujar Arief, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (5/10/2020).
Tidak hanya itu, Arief juga menyinggung pada pekerja BUMN yang harus merasakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bahkan berdasarkan catatannya, ada sekira 14 BUMN yang menonaktifkan pekerjanya karena BUMN-BUMN itu akan dibubarkan.
"Begitu juga para pekerja BUMN juga banyak yang di-PHK serta bekerja dari rumah selama PSBB. Malah ada 14 BUMN yang karyawannya sudah non-aktif bekerja dan akan dibubarkan oleh Erick Thohir, serta belum diselesaikannya hak-hak para pekerjanya," kata dia.
Baca: Buruh Gelar Mogok Nasional, PPP: Hak Setiap WNI, Asal Tak Ganggu Ketertiban Umum
"Dengan adanya covid, sebenarnya sudah terjadi mogok nasional secara otomatis dimana-mana ya, termasuk juga di semua negara di dunia," imbuh Arief.
Sebelumnya diberitakan, nenyikapi rencana pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang Paripurna DPR RI, maka KSPI dan Buruh Indonesia beserta 32 Federasi Serikat Buruh lainnya menyatakan menolak Omnibus Law Cipta Kerja dan akan mogok nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Hal ini sesuai mekanisme UU No 9 tahun 1998, tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dengan Tolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Mogok Nasional ini akan diikuti sekitar dua juta buruh dan direncanakan diikuti 5 juta buruh di 25 provinsi dan hampir 10 ribu perusahaan dari berbagai sektor industri di seluruh Indonesia, seperti industri kimia, energi, tekstil, sepatu, otomotif, baja, elektronik, farmasi dan lain-lain.
Selain aksi Mogok Nasional, buruh juga akan mengambil tindakan strategi lainnya sepanjang waktu sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan KSPI mencermati tiga dari sepuluh isu dalam RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
"Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati tiga isu, yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003," ujar Said Iqbal melalui keterangan resmi, Senin (5/10/2020).
Said Iqbal dan para buruh meminta ketiga isu tersebut harus diperiksa kembali dan kalimat yang dituangkan ke dalam pasal RUU Cipta Kerja tersebut, apakah merugikan buruh atau tidak.
Baca: Polisi Bakal Bubarkan Buruh yang Datang ke Jakarta Untuk Ikut Demo Tolak RUU Cipta Kerja
Namun demikian, terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut.
Ketujuh isi yang telah disepakati pemerintah bersama DPR yang ditolak oleh buruh adalah :
Pertama, UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) bersyarat dan UMSK (Upah Minimum Sektoral Provinsi) dihapus, buruh menolak keras kesepakatan ini.
Menurut Said Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.
Lebih lanjut, Said Iqbal menilai tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
"Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara," terang Said Iqbal.
Oleh karena itu, UMSK dinilai harus tetap ada. Namun jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja.
Jadi nantinya UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada keadilan.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional.
Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," ujar Said Iqbal.
Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
Baca: Tolak RUU Omnibus Cipta Kerja, 2 Juta Buruh Akan Gelar Aksi Mogok Nasional Selama 3 Hari
Di mana 19 bulan dibayar pengsuaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini, Said Iqbal mempertanyakan, dari mana BPJS mendapat sumber dananya?
"Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan, ini dirasa tidak masuk akal.Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan," jelasnya.
Said Iqbal bisa memastikan BPJS Naker akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini, atau dengan kata lain dibuat aturan baru skema pesangon untuk tidak bisa dilaksanakan di lapangan.
Ketiga, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup.
Keempat, outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing.
Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan. Buruh pun menolak outsourching seumur hidup.
Menurut Said Iqbal, karyawan kontrak dan outsourching seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh.
Dia mempertanyakan, siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP.
Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapai kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal satu tahun.
Baca: KSBSI Klaim Tak Akan Ikut AksI Mogok Nasional Tolak RUU Cipta Kerja, Ini Alasannya
"Pertanyaannya, bagaiamana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi," ungkapnya.
Said Iqbal menilai jika perusahaan mengontrak buruh di bawah satu tahun, tidak akan mungkin agen outsourcing bersedia membayar JKP buruh.
Terlebih kalau outsourcing dikontrak agen di bawah satu tahun atau perusahaan pengguna pekerja outsourcing mengembalikan ke agen sebelum habis masa kontraknya, makin tidak jelas siapa yang harus membayar JKP-nya.
Kemudian, siapa yamg membayar upah sisa kontrak dari karyawan kontrak dan pekerja outsourcing, jika kontraknya diputus di tengah jalan sebelum habis masa kontrak yang diperjanjikan pengusaha.
Satu hal yang pasti menurut Said Iqbal, dengan DPR setuju dengan karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup, berarti istilah no job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
=Lalu, Said Iqbal mempertanyakan, di mana kehadiran negara dalam melindungi Buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 - 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5-15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk Buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?," tegasnya.
Kelima, Buruh Indonesia menolak waktu kerja tetap eksploitatif.
Keenam, Buruh Indonesia juga menolak hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang.
Ketujuh, karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi buruh juga hilang.
"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak dua juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing," ungkap Said Iqbal.