Dipolisikan Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Najwa Shihab Angkat Bicara
Najwa Shihab merespons kabar dirinya yang dipolisikan Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi.
Penulis: Sinatrya Tyas Puspita
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Najwa Shihab merespons kabar dirinya yang dipolisikan Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi.
Melalui unggahan di akun Instagram miliknya, @najwashihab Selasa (6/10/2020) Najwa mengaku baru mengetahui soal pelapran itu dari teman-teman media.
Ia pun mengaku belum mengetahui atas dasar apa pelaporan itu dituduhkan, demikian juga dengan pasalnya.
Najwa pun sempat mendengar, jika pihak Polda Metro Jaya menolak laporan tersebut dan meminta untuk membawa persoalan ini ke Dewan Pers.
Baca: Reaksi Najwa Shihab soal Pelaporan Dirinya ke Polda Metro Jaya oleh Relawan Jokowi
Baca: Tak Setuju Najwa Shihab Dilaporkan ke Polisi, Seknas Jokowi: Najwa itu Pekerjaannya Kritikus
Dirinya mengaku siap jika memang dibutuhkan keterangan jika diperiksa suatu saat nanti.
Ada banyak faktor pendorong yang membuat Najwa berani menayangkan kursi kosong.
Satu diantaranya tentang niat mengundang pejabat publik untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya terkait penanganan pandemi.
Najwa juga memberikan contoh dimana treatment “kursi kosong” ini belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi lazim di negara yang punya sejarah kemerdekaan pers cukup panjang.
Di Amerika sudah dilakukan bahkan sejak tahun 2012.
Baca: Najwa Shihab Dipolisikan Pendukung Jokowi, Sikap Polisi, Kata Pengamat dan Tanggapan Fadli Zon
Baca: Relawan Jokowi Laporkan Najwa Shihab, Dewan Pers Mengaku Belum Terima Aduan
Berikut klarifikasinya
"Saya baru mengetahui soal pelaporan ini dari teman-teman media. Saya belum tahu persis apa dasar pelaporan termasuk pasal yang dituduhkan. Saya dengar pihak Polda Metro Jaya menolak laporan tersebut dan meminta pelapor membawa persoalan ini ke Dewan Pers. Jika memang ada keperluan pemeriksaan, tentu saya siap memberikan keterangan di institusi resmi yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Tayangan kursi kosong diniatkan mengundang pejabat publik menjelaskan kebijakan-kebijakannya terkait penanganan pandemi. Penjelasan itu tidak harus di Mata Najwa, bisa di mana pun. Namun, kemunculan Menteri Kesehatan memang minim dari pers sejak pandemi kian meningkat, bukan hanya di Mata Najwa saja. Dan dari waktu ke waktu, makin banyak pihak yang bertanya ihwal kehadiran dan proporsi Manteri Kesehatan dalam soal penanganan pandemi.
Faktor-faktor itulah yang mendorong saya membuat tayangan yang muncul di kanal Youtube dan media sosial Narasi. Media massa perlu menyediakan ruang untuk mendiskusikan dan mengawasi kebijakan-kebijakan publik. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan juga berasal dari publik, baik para ahli/lembaga yang sejak awal concern dengan penanganan pandemi maupun warga biasa. Itu semua adalah usaha memerankan fungsi media sesuai UU Pers yaitu “mengembangkan pendapat umum” dan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”.
Sependek ingatan saya, treatment “kursi kosong” ini belum pernah dilakukan di Indonesia, tapi lazim di negara yang punya sejarah kemerdekaan pers cukup panjang. Di Amerika sudah dilakukan bahkan sejak tahun 2012, di antaranya oleh Piers Morgan di CNN dan Lawrence O’Donnell di MSNBC’s dalam program Last Word. Pada 2019 lalu di Inggris, Andrew Neil, wartawan BBC, juga menghadirkan kursi kosong yang sedianya diisi Boris Johnson, calon Perdana Menteri Inggris, yang kerap menolak undangan BBC. Hal serupa juga dilakukan Kay Burley di Sky News ketika Ketua Partai Konservatif James Cleverly tidak hadir dalam acara yang dipandunya.