Kaji Baik Buruknya Politik Dinasti, MUI Tegaskan demi Kebaikan Bersama
MUI menyadari kajiannya menimbulkan pro-kontra di masyarakat, MUI berpandangan langkah itu patut dikaji demi kebaikan bersama.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selain usulan mengenai masa jabatan presiden, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengkaji usulan hukum mudarat praktik politik dinasti yang kerap terjadi tiap penyelenggaraan pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah
(Pilkada).
Usulan fatwa itu akan dibawa dan dibahas bersama dalam forum Musyawarah
Nasional (Munas) MUI yang digelar 25-28 November 2020 mendatang di Jakarta.
"Kalau banyak mudaratnya ya sudah. Meskipun ada hak asasi di situ enggak masalah.
Tapi, kita kaji mudaratnya. Mana banyak manfaat dan mudaratnya. Nanti diperlukan
penelitian dan kajian," kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Hasanuddin AF, Senin (19/10).
Menurut Hasanuddin, gelaran Pilkada langsung selama ini telah memunculkan ekses
terhadap banyaknya calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah dengan
pejabat petahana, baik itu dari level pejabat bupati, wali kota, gubernur hingga jajaran
eksekutif nasional seperti presiden dan wakil presiden.
Melihat hal itu, MUI mengkaji bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik
politik dinasti yang kerap terjadi di Indonesia sampai saat ini.
"Praktiknya muncul setelah suami menjabat, lalu istri, ponakan menjabat, setelah ponakan anak menjabat. Sebenarnya bagaimana? Sementara mudaratnya ada. Mana yang lebih besar
mudaratnya atau manfaatnya? Perlu dikaji," kata dia.
Baca juga: Respons Ketua MPR Sikapi Usul MUI Soal Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun
Hasanuddin lantas mencontohkan usulan fatwa terkait politik dinasti nantinya bisa
mengatur agar para keluarga kepala daerah atau pejabat eksekutif di tingkat nasional
yang masih aktif tak mencalonkan terlebih dulu di Pilkada.
Pencalonan itu, kata dia, bisa dilakukan bila masa jabatan kepala daerah atau pejabat eksekutif tersebut sudah selesai.
Ia menyadari langkah tersebut akan menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah
masyarakat.
Meskipun demikian, ia berpandangan langkah tersebut patut untuk dikaji
demi kebaikan bersama.
"Jadi ya tunggulah sampai berhenti dari presiden. Kan, gitu. Bukan [mencalonkan] pas lagi menjabat. Gubernur juga gitu. Suami jadi gubernur, istrinya mau nyalon. Ya nanti lah setelah suaminya berhenti jadi gubernur. Ya itu kan jadi maslahat" kata dia.
Baca juga: Munas MUI Bakal Bahas Fatwa Soal Masa Bakti Presiden Hingga Politik Dinasti
Baca juga: Pengamat : Usulan MUI Soal Masa Jabatan Presiden Hanya akan Jadi Angin Lalu
Untuk diketahui tahun ini dari 270 daerah yang menggelar pilkada serentak, beberapa di
antaranya terdapat calon-calon yang memiliki kekerabatan dengan sejumlah pejabat,
baik di daerah maupun nasional.
Para calon itu antara lain putra sulung Presiden RI Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang menjadi calon wali kota Solo.
Kemudian, menantu Jokowi, Bobby Nasution sebagai calon wali kota Medan.
Lalu, ada putri Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah yang menjadi calon wali
kota Tangerang Selatan, Banten, serta Serta Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang
merupakan keponakan dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dalam penelitian terakhir yang dilakukan Nagara Institute, setidaknya ada 124 calon kepala daerah peserta Pilkada Serentak 2020 yang termasuk bagian dari dinasti politik.
Hasil penelitian yang dirilis pada 12 Oktober lalu disebutkan Golkar, PDIP, dan
NasDem adalah parpol yang paling banyak mengusung calon kepala daerah dari dinasti
politik.
Rincian dari 124 calon terkait dinasti politik itu adalah 57 kandidat adalah calon
bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota, 8 calon wakil wali kota, 5 calon
gubernur dan 4 calon wakil gubernur.
Baca juga: MUI Beberkan Tiga Hal Penting dalam Proses Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19
Baca juga: Usulan MUI Soal Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun Harus Amandemen UUD 1945
Baca juga: MUI Usul Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun, Pengamat: Urus Masalah Agama Saja
Jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, Nagara Institute menemukan jumlah
kandidat dinasti politik terus meningkat, terlebih setelah putusan MK 33/PUU-XIII/2015
yang menghalalkan dinasti politik.
Pada 2005-2014 terdapat 59 kandidat dinasti politik.
Setelah putusan MK keluar di tahun 2015, angka dinasti politik pada Pilkada 2015, 2017,
2018 naik menjadi 86 orang kandidat.
Dari hasil riset tersebut, Nagara Institute menyimpulkan partai politik belum berhasil
melakukan fungsi rekrutmen dalam pemilihan umum, khususnya pada praktik Pilkada
2020.(tribun network/fah/dod)