Setahun Pemerintahan Jokowi, Fraksi PKS: Ambyar, Hampir Semua Sektor Kehidupan Alami Penurunan
Secara sosial kemasyarakatan masyarakat, kata Mulyanto, Indonesia terbelah menjadi cebong dan kadrun.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini, Selasa (20/10/2020), genap satu tahun usia Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin.
Sejak dilantik sebagai presiden di periode kedua, pemerintahan Jokowi banyak mendapat sorotan.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto menyebut, secara umum kinerja pemerintahan Jokowi di bawah standar.
Menurutnya, kinerja yang ada sekarang jauh dari janji kampanye yang disampaikan kepada rakyat.
"Pemerintahan Jokowi di periode kedua ini ambyar. Hampir semua sektor kehidupan mengalami grafik penurunan. Yang naik hanya utang dan kasus penangkapan aktivis politik yang kritis terhadap pemerintah," kata Mulyanto kepada wartawan, Selasa (20/10/2020).
Secara sosial kemasyarakatan masyarakat, kata Mulyanto, Indonesia terbelah menjadi cebong dan kadrun.
Pemerintah yang seharusnya mendamaikan ternyata malah jadi sumber perpecahan.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf Amin, Pengamat : Program Prioritas Ambyar Total Akibat Covid-19
Hal ini ditandai dengan adanya kelompok influencer (berpengaruh) di media sosial yang digerakkan sebagai buzzer dan didanai langsung oleh negara.
Tak tanggung-tanggung besaran dana untuk influencer dan buzzer ini lebih besar daripada anggaran riset vaksin.
"Pemerintah gagal membangun rasa kebersamaan masyarakat. Dengan segala sumberdaya dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah harusnya bisa mencegah keadaan ini agar jangan sampai meluas. Tapi sayangnya Pemerintah terkesan lebih menikmati kondisi ini daripada menyelesaikannya. Sehingga masyarakat kita rentan dari perpecahan," ujarnya.
Secara politik, Mulyanto berpendapat, pemerintah merasa terganggu oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen.
Menurut Mulyanto, pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.
Mulyanyo mengatakan, demokrasi itu mensyaratkan adanya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dengan adanya oposisi maka pemerintah akan dapat dikontrol dan diawasi kinerjanya.
"Jika di parlemen hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi pemerintah harusnya oposisi di luar parlemen diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. Jangan didiskreditkan sebagai ancaman negara," ucapnya.
"Makanya wajar jika kelompok oposisi, yang semula lebih bersifat keummatan, yang disimbolkan dengan tokoh Habib Rizieq Shihab, semakin melebar dengan dideklarasikannya oposisi yang lebih bersifat kebangsaan dalam gerakan KAMI, dengan tokoh sentralnya Prof. Din Syamsudin dan Jendral Gatot Nurmantyo," imbuh Mulyanto.
Dalam setahun pemerintahan Jokowi, Mulyanto juga menyoroti tumbuhnya politik dinasti, di mana anak-menantu Jokowi terjun dalam Pilkada.
Secara aturan mungkin pelibatan anak dan mantu dalam hajat pilkada tidak dilarang tapi secara etika dinilai kurang pantas.
"Pada periode ini kita merasakan betul adanya praktek oligarki kekuasaan, dimana ada kerjasama terlarang antara penguasa dan pengusaha dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pihak tertentu. Hal ini dapat terlihat dari UU Cipta Kerja yang mendukung para pemodal mengeksploitasi sebesar-besarnya kekayaan negara. Tentu hal ini menjadi warna yang tidak elok dan menyimpan ketidakadilan dalam wajah perpolitikan di satu tahun pemerintahan Jokowi," pungkas Anggota Komisi VII DPR RI itu.