Soal Ibu Kota Baru, Pemerintah Dinilai Tabrak Aturan Karena KLHS Tidak Lengkap
Pemerintah dinilai menabrak aturan dan konstitusi karena Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk kawasan Ibu Kota Negara (IKN) baru
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dinilai menabrak aturan dan konstitusi karena Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk kawasan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Pulau Kalimantan tidak lengkap.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana menilai muatan KLHS yang dibuat pemerintah tidak lengkap.
Padahal menurut Wahyu ada enam muatan KLHS yang diamanatkan dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2016 tentang penyusunan KLHS.
Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf Amin, Bagaimana Nasib Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara?
Enam muatan tersebut, kata Wahyu, di antaranya melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan, menghitung dampak dan risiko lingkungan hidup, jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alih-alih memuat instrumen apa saja yang sudah dianalisa, kata Wahyu, kecenderungannya dalam KHLS tersebut justru melompat yakni dari pendahuluan tiba-tiba masuk ke pengaruh kebijakan terhadap kondisi lingkungan hidup.
"Jadi alih-alih seharusnya secara tata urutan semua proyek strategis, KLHS menjadi alat ukur, ini dipaksa menjadi justifikasi. Saya kira ini pengangkangan terhadap konstitusi dan perlindungan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang sudah ada. Bahkan menurut kami jauh sebelum omnibus law disahkan," kata Wahyu dalam Diskusi Publik Di Balik Mega Proyek Ibu Kota Negara Baru secara virtual, Selasa (27/10/2020).
Baca juga: Politikus Demokrat Sebut Penundaan Pembangunan Ibu Kota Negara Sebagai Keputusan Bijaksana
Padahal jika dibandingkan dengan penyusunan KLHS yang telah dilakukan banyak Pemerintah Daerah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kata Wahyu, penghitungan KHLS dibuat sangat rigid.
Penghitungan tersebut di antaranya mulai dari indikator pangan, daya dukung dan daya tampung air, serta keanekaragaman hayati.
Bahkan, kata Wahyu, di beberapa wilayah penghitungan soal pangannya sangat spesifik hingga ke tingkat kalori dan bukan jenis tanaman tertentu.
Jadi kalau KLHS-nya tidak disiapkan dengan baik, kata Wahyu, sulit menutup mata apa yang saat ini terjadi dan menjadi beban di Pulau Jawa akan terulang lagi di Kalimantan.
"Dan yang terpenting kalau KLHS dilakukan dengan baik, kita tahu seberapa besar ekosistem menyediakan kehidupan dan penghidupan untuk masyarakat sekitarnya. Kalau itu dibiarkan, kita tidak tahu itu, kalau tiba-tiba ada populasi menambah baru, ada pusat industri baru, berapa ikan yang hilang, berapa yang pergi," kata Wahyu.
Baca juga: Politikus Ini Dorong Pembangunan Konektifitas Transportasi Ibu Kota Negara di Kaltim
Ia menyontohkan dampak reklamasi di sebuah wilayah di Jakarta sebagai gambarannya.
Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DKI Jakarta, kata Wahyu, penghasilan ikan jika dievaluasi dengan nilai rupiah yang didapatkan setiap nelayan per bulan mencapai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tapi begitu reklamasi ada dua yang membuat dia turun.
Satu karena ikannya pergi karena ada tingkat kekeruhan yang naik.
Kedua, untuk mecari ikan nelayan butuh ongkos operasional yang lebih lebih banyak karena butuh solar yang lebih banyak untuk melaut.
"Iu hanya bisa dimungkinkan menghitung pendekatannya dengan KLHS. Sayangnya kemudian KLHS-nya hanya dijadikan justifikasi. Tiba-tiba lompat begitu ke bab RKP, soal rencana kerja pemerintahnya, bagaimana kesesuaiannya," kata Wahyu.