INDEF: LPI Bisa Genjot Investasi, Tapi Cukup Berisiko
Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja diyakini mampu meningkatkan investasi.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja diyakini mampu meningkatkan investasi.
Hal ini menimbulkan banyak pendapat di kalangan ekonom, termasuk Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto.
Ia menilai dibentuknya LPI untuk menjadi alternatif pendanaan dalam pembangunan.
Pernyataan tersebut disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk 'UU Cipta Kerja: Solusi Perbaikan Kawasan Ekonomi & Proyek Pemerintah', Senin (2/10/2020).
Baca juga: DPR RI-Verkhovna Rada Sepakat Perkuat Kerja Sama Indonesia dan Ukraina
"Aspeknya lebih kepada upaya untuk menghadirkan alternatif pendanaan dam pembangunan. Karena sebagian besar dari Lembaga Pengelola Investasi ini nantinya yang ditawarkan adalah proyek-proyek infrastruktur," ujar Eko.
Ia pun melihat dibentuknya LPI agar proyek pembangunan di Indonesia menjadi lebih terpadu.
"Ya menurut saya itu bagian dari upaya pembangunan menjadi lebih terpadu," kata Eko.
Kendati demikian, ia memandang keberadaan LPI ini cukup berisiko.
Baca juga: UU Cipta Kerja Diklaim Bisa Hilangkan Praktik Korupsi Perizinan
Sehingga pemerintah perlu menyiapkan strategi jika di tengah jalan nantinya kinerja lembaga ini tidak sesuai harapan.
"Saya rasa ini potensinya memang besar adanya SWF ini, saya nggak mengingkari karena memang ada beberapa investor global yang sudah mulai melirik dan mungkin berkomitmen dengan pemerintah Indonesia, tetapi risikonya juga jauh lebih besar," kata Eko.
Tidak hanya itu, menurut Eko, proyek pembangunan yang didanai lembaga ini bisa saja tidak menghasilkan return.
Baca juga: BREAKING NEWS: Presiden Jokowi Teken Undang Undang Cipta Kerja
"Bisa saja proyek-proyek yang didanai itu sebetulnya tidak cukup produktif untuk menghasilkan return," papar Eko.
Proyek pun bisa dianggap gagal, jika dibangun sempurna namun tidak mendatangkan investor.
"Kalau dia tidak produktif menghasilkan return, itu yang terjadi adalah sudah dibangun, bentuknya bagus, kemudian canggih-canggih tetapi tidak ada (investor) yang masuk," ujar Eko.