Jaksa Agung Resmi Ajukan Banding Soal Vonis Bersalah Terkait Pernyataan Kasus Semanggi I-II
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin resmi mendaftarkan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) terkait putusan yang menyatakan bersalah
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung RI ST Burhanuddin resmi mendaftarkan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) terkait putusan yang menyatakan bersalah terkait pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat'.
Diketahui, Jaksa Agung RI dinyatakan bersalah di dalam putusan nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang diketok pada Rabu (4/11/2020).
Putusan itu ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai Hakim Anggota.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono mengatakan Jaksa Agung menyatakan keberatan dengan keputusan tersebut. Banding itu pun telah didaftarkan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) sejak 9 November 2020.
"Iya benar, sudah menyatakan banding tanggal 9 November 2020," kata Hari saat dikonfirmasi, Kamis (12/11/2020).
Ke depannya, pihaknya akan melaksanakan sejumlah tahapan banding yang ditetapkan oleh PTTUN. Di antaranya melakukan penyerahan memori banding atas putusan PTUN.
"Nantinya akan dilakukan penyerahan memori banding dan berbagai tahapan selanjutnya," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung RI telah memutuskan akan mengajukan banding terkait Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memutuskan Jaksa Agung RI ST Burhannudin dinyatakan bersalah terkait pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat'.
"Kami 14 hari harus mengajukan keberatan ini. Kita sudah finalisasi dan tinggal merapikan saja dan atas memori banding itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu akan dikirimkan ke pengadilan tinggi tata usaha negara," kata Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (JAM Datun), Ferry Wibisono di Kejagung RI, Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Baca juga: Komjak Dukung Jaksa Agung Ajukan Banding Soal Putusan PTUN Terkait Kasus Semanggi I-II
Ferry menjelaskan bahwa hakim dituding telah membuat banyak keputusan yang keliru dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Satu di antaranya perihal tak ada peraturan yang dilanggar oleh Jaksa Agung soal pernyataan itu.
"Peraturan mana yang dilanggar dalam substansi tersebut. Tetapi hakim tidak menunjukkan pasal mana yang dilanggar dalam putusan itu karena memang tidak ada peraturan yang dilanggar. Jadi hakim memformulasikan berdasarkan keyakinan saja tanpa alat bukti yang memadai dan kemudian lalai dalam menjalankan kewajibannya dan membuat pertimbangan yang tidak benar terkait perbuatan hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung," jelasnya.
Tak hanya itu, Ferry juga menyinggung pihak penggugat dinilai tidak memenuhi syarat kepentingan dalam mengajukan gugatan ke PTUN. Menurutnya, orang tua korban 1998 sebagai penggugat tidak memiliki kepentingan menjawab pernyataan Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR RI.
"Kepentingan penggugat (orang tua korban) adalah pada penanganan perkara HAM berat. Bukan pada proses jawab menjawab pada rapat kerja DPR RI," jelasnya.
Lebih lanjut, Ferry mengungkapkan majelis hakim dinilai tak mempertimbangkan rekaman video yang utuh terkait pernyataan Jaksa Agung RI di dalam rapat kerja DPR RI. Sebab, ada kalimat yang disebut tidak pernah disebutkan oleh Jaksa Agung dalam putusan itu.
Kalimat yang tak ada di rekaman adalah: 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,'
"Jaksa Agung tidak pernah menyatakan adanya kalimat ini. Seharusnya Komnas HAM ini menjadi objek sengketa karenanya bapak ibu bisa melihat dalam keputusannya ada kalimat ini. Padahal di rekamannya tidak ada kalimat ini pada saat tanya jawab tersebut," ungkapnya.
Namun demikian, kata dia, pihaknya mengakui Jaksa Agung RI memang menyebutkan kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Akan tetapi, hal itu mengacu pada laporan panitia khusus DPR RI yang dikeluarkan pada tahun 2001 silam.
"Melihat banyaknya kesalahan yang dilakukan PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan pengadilan PTUN. Kami mempersiapkan diri bahwa keputusan ini tidak benar dan kami akan melakukan banding atas keputusan yang tidak benar," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.