Praktisi Hukum Sarankan DPR Perkuat Pengawasan Minuman Beralkohol
Ketiga fraksi tersebut mengatakan bahwa aturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat mengkonsumsi minuman beralkohol.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga fraksi di DPR yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra mengusulkan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol.
Ketiga fraksi tersebut mengatakan bahwa aturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat mengkonsumsi minuman beralkohol.
Dalam pasal 20, dikatakan bagi yang melanggar UU tersebut, akan dipidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan dan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit 10 juta dan paling banyak 50 juta.
Baca juga: RUU Larangan Minuman Beralkohol, Polri Ungkap Banyak Kasus Tindak Pidana yang Dipicu Alkohol
RUU tersebut pun menuai polemik di tengah masyarakat, pengamat hukum, pelaku usaha, dan juga masyarakat lainnya.
Praktisi Hukum yang juga Legal Director PT Birwana Gemilang Jaya/ Beervana Indonesia, Arfito Hutagalung mengatakan, ketentuan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur, yaitu Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP.
Begitupun Menteri Perdagangan Indonesia telah mengeluarkan Permendag Nomor 25 Tahun 2019 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol.
“Semua itu sudah dipikirkan dengan matang dan telah diatur dengan baik oleh pemerintah,” ucap Fito, Sabtu (14/11/2020).
Jadi, menurut fito, tidak semua hal mesti diselesaikan dengan Undang-undang. Ada banyak daerah yang berpotensi dengan hasil Minol tradisionalnya.
Baca juga: Pabrik Miras Oplosan Omzet Rp 4 Juta Digerebek, Pemilik Oplos Alkohol 90 Persen dengan Minuman Ini
Dan hal tersebut tak luput merupakan bagian dari budaya yang telah lama ada di diri masyarakat Indonesia.
Yang apabila dikelola dengan baik, dapat dikembangkan dan bahkan diperkenalkan ke dunia internasional.
Alih-alih soal RUU Minol, Fito berpendapat, sebaiknya DPR membahas RUU yang lebih mendesak dan yang selama ini terabaikan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) maupun RUU lainnya.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan aparat terkait fungsi pengawasan dan maraknya penjualan minol ilegal. Sehingga ketakutan DPR dapat teratasi dengan baik,” kata Arfito.
Tambahnya, justru apabila RUU ini di sahkan, maka akan memberi dampak negatif untuk peradilan pidana di Indonesia. Kata dia, cukup sudah membuat kebijakan yang berorientasi pada pidana.