Politikus PKS Kritik Instruksi Mendagri soal Pemberhentian Kepala Daerah
Hal itu juga dinilai HNW berpotensi menjadi preseden yang mengancam kedaulatan rakyat.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai timing munculnya instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6/2020 yang juga berisi 'ancaman' pemberhentian kepala daerah dalam penegakan protokol kesehatan cenderung politis yang melampaui kewenangannya.
Hal itu juga dinilai HNW berpotensi menjadi preseden yang mengancam kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
HNW menjelaskan bahwa timing keluarnya instruksi itu saat momentum kerumunan massa terkait Habib Rizieq Shihab maupun juga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mengindikasikan kuat adanya tendensi politis dan tak sekedar teguran soal kerumunan massa dikaitkan dengan ketaatan melaksanakan prokes terkait covid-19.
"Sebab sudah banyak sebelumnya terjadi kerumunan massa di banyak provinsi terkait demonstrasi-demonstrasi menolak RUU Omnibus Law Ciptakerja, pengajian/peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, apalagi terkait Pilkada baik pendaftaran maupun kampanye. Bawaslu malah mencatat adanya 1315 pelanggaran. Tapi tidak dari dulu instruksi Mendagri itu dikeluarkan, padahal masalahnya ada dan keperluannya juga ada,” ujar HNW dalam keterangannya, Jumat (20/11/2020).
Baca juga: Dukung Pembelajaran Tatap Muka, Mendagri Akan Keluarkan Surat Edaran untuk Kepala Daerah
Dia menuturkan bahwa instruksi yang tidak memenuhi rasa keadilan apalagi ditambahi dengan ancaman yang tendensius, berpotensi menjadi preseden yang menghidupkan praktek otoritarianisme yang tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung keadilan.
"Ancaman pemberhentian kepala daerah melalui Instruksi Menteri, tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat.
Hal ini berimplikasi kepada hak rakyat yang secara langsung memilih pemimpinnya, baik presiden maupun kepala daerah (gubernur dan/atau walikota/bupati),” kata dia.
HNW menjelaskan UU Pemerintah Daerah mengatur mengenai pemberhentian kepala daerah, tetapi prosesnya tidak bisa dilakukan secara semena-mena.
Proses pemberhentian harus dilakukan dengan alasan yang jelas sesuai ketentuan tersebut.
"Menteri Dalam Negeri tidak bisa begitu saja melakukan ancaman pemberhentian kepala daerah. Ini bukan di era orde baru. Sekarang Kepala Daerah, termasuk Gubernur DKI, dipilih langsung oleh rakyat,” imbuhnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut mengingatkan bahwa beberapa pasal dalam UU Pemda yang menjadi rujukan Instruksi Mendagri tersebut juga memberi persyaratan yang sangat ketat.
Instruksi Menteri itu, kata dia, menjadi tendensius karena tak utuh merujuk kepada ayat-ayat UU Pemda secara komprehensif.
Misalnya, seperti soal pemberhentian kepala daerah karena melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang ditekankan dalam Instruksi Mendagri tersebut.
“Pemberhentian kepala daerah dengan dua alasan itu harus melewati proses di DPRD dan harus melalui putusan Mahkamah Agung. Syaratnya sangat ketat dan sesuai dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Dan syarat itu hampir sama seperti bila melakukan impeachment Presiden,” ungkapnya.