IPW Beberkan Lima Alasan untuk Tak Menunda Pilkada Serentak 2020
IPW tidak melihat adanya alasan untuk menunda perhelatan Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane tidak melihat adanya alasan untuk menunda perhelatan Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang.
Neta mengatakan pihaknya melihat ada lima alasan yang membuat Pilkada itu tidak perlu ditunda.
"Ada lima alasan kenapa Pilkada 2020 tidak perlu ditunda," ujar Neta, dalam keterangannya, Selasa (1/12/2020).
Alasan pertama, Neta menegaskan bahwa tidak ada jaminan kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir.
Kedua, dia mengatakan situasi keamanan di berbagai daerah, terutama yang melaksanakan pilkada sangat kondusif.
"Potensi konflik dikhawatirkan hanya akan terjadi di beberapa wilayah di Papua," kata dia.
Ketiga, Neta meyakini tidak akan terjadi kerumunan massa yang mengkhawatirkan. Sebab, pengaturan jam kedatangan para pencoblos atau pemilik suara ketat diberlakukan.
Baca juga: Polri Antisipasi Adanya Aksi Teror Saat Pilkada Serentak 2020
Baca juga: Mengenal 3 Jenis Surat Suara yang Akan Diterima Pemilih Saat Pilkada Serentak 9 Desember 2020
Baca juga: Kawal Bersama Pilkada 2020 yang Demokratis, Sehat dan Aman Covid-19
Kemudian alasan keempat, kekhawatiran munculnya klaster baru diperkirakan tidak akan terjadi.
Menurutnya hal itu mengingat para pencoblos adalah warga sekitar dengan tingkat partisipasi 60 hingga 70 persen. Sementara para saksi yang hadir tentu akan mengikuti protokol kesehatan secara ketat.
"Kelima, pilkada serentak juga akan membuat perekonomian di daerah menggeliat. Sebab sedikitnya ada sekitar Rp 20 triliun dana berputar, mulai dari dana politik para calon kepala daerah hingga dana APBD dan APBN yang dikucurkan pemerintah," jelasnya.
Adapun anggaran Pilkada 2020 yang semula disiapkan pemerintah sebanyak Rp 15,23 triliun, sudah mendapat tambahan anggaran APBN sebanyak R p4,77 triliun, sehingga totalnya Rp 20,4 triliun.
"Penambahan itu untuk membiayai anggaran protokol kesehatan pada saat Pilkada dilakukan. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan dana dari biaya politik para seluruh calon yang diperkirakan lebih dari Rp 5 triliun. Sebab itulah IPW menilai tidak ada alasan untuk menunda Pilkada 2020," tandasnya.
SMRC Sebut Mayoritas Publik Ingin Pilkada 2020 Tetap Dilaksanakan
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas mengatakan, semuanya harus berbasis data.
Bagaimana keinginan publik terkait Pilkada 2020 ini.
Baca juga: Putra Amien Rais Dukung Anak Sulung Joko Widodo di Pilkada Solo, Gibran Rakabuming: Tambah Semangat
"SMRC sudah melakukan sejumlah survei nasional yang diantaranya mengungkap soal terkait Pilkada 2020. Ada tiga catatan dari temuan survei nasional. Pertama mayoritas publik nasional masih ingin Pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan ketimbang yang ingin menunda," kata Sirojuddin Abbas saat dikonfirmasi Tribunnews, Sabtu (28/11/2020).
Kedua, menurut Abbas, memang ada kekhawatiran masyarakat Pilkada menjadi sumber Covid-19.
"Tapi tidak menghambat mereka berpartisipasi," jelasnya.
Baca juga: Waspada Risiko Ledakan Kasus Covid-19 Bulan Desember, Epidemiolog: Ada Pilkada dan Libur Akhir Tahun
Alasan ketiga, lanjut Sirojudin, adalah mayoritas warga, sekitar 52 persen dari yang tahu akan ada pilkada serentak atau sekitar 41 persen dari populasi nasional, mengetahui daerahnya akan melaksanakan Pilkada.
"Sebanyak 92 persen dari warga yang tahu akan ada pilkada di daerahnya mengaku akan ikut memilih," ujarnya.
Menurut Abbas, dari tiga temuan tersebut ada pesan penting khususnya kepada penyelanggara, yakni semua proses harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Baca juga: Mumtaz Rais Ungkap Alasannya Mendukung Gibran pada Pilkada Solo 2020
"Mulai dari proses kampanye, pemungutan suara, itu bisa dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan ketat," tutur Abbas.
Ia pun memandang, sejauh ini baik info dari Satgas Covid-19, Pemda, KPU, maupun Bawaslu sudah cukup ketat menerapkan protokol kesehatan saat masa kampanye.
Meski tak dipungkiri diawal masih ada banyak pelanggaran.
"Makin ke sini, mereka semakin sadar dan hati-hati," jelas Sirojuddin.
Dari hasil survei yang telah dilakukan pihaknya, juga menemukan masyarakat tak ingin kepala daerah dijabat Plt, sekitat 70 persen.
Mereka ingin kepala daerah dipilih masyarakat.
"Jadi, ini alasan terkuat Pilkada 2020 tetap berjalan. Karena mereka ingin daerah hasil legitimasi langsung bukan Plt yang ditunjuk pemerintah," katanya.
Karena itu, ia berpandangan tidak bijak jika mengubah aturan di saat terakhir seperti sekarang ini. Apalagi menunda.
"Menurut saya, tidak bijak mengubah aturan pemilu di masa akhir. Untuk apa ditunda? Sangat tidak sensitif terhadap aspirasi masyarakat dan juga tidak sensitif dengan beban biaya peserta dan pemerintah, untuk Pilkada," ucap Abbas.
Waspadai Ledakan Kasus Covid
Desember 2020 dinilai memiliki risiko kenaikan angka positif Covid-19 di Indonesia.
Ahli Ilmu Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair), Laura Navika Yamani menyebut ada dua momen yang berpotensi memunculkan kerumunan, yaitu Pilkada Serentak dan libur akhir tahun pengganti libur Idul Fitri.
"Risiko kenaikan angka Covid-19 di bulan Desember dengan dua momen ini harus diperhatikan," ungkap Laura saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (27/11/2020).
Bila tidak dapat dikendalikan, Laura menyebut ada kemungkinan kasus Covid-19 akan meledak pada awal 2021.
"Sekarang kasus Covid-19 sudah tinggi, beberapa rumah sakit dan IGD melaporkan penuh."
"Sedangkan dua even di Desember ini berisiko," ungkapnya.
Baca juga: Kasus Covid-19 Pecah Rekor, Epidemiolog: Imbas Libur Panjang dan Kerumunan Massa
Laura menyebut pemerintah harus mewaspadai adanya wacana libur panjang di akhir tahun 2020.
"Pemerintah harus ada upaya antisipasi, kita ingin masyarakat paham, mencari tempat liburan yang aman dan tidak abai dengan kondisi pandemi," ungkapnya.
Menurut Laura, kondisi tempat wisata yang sudah kembali buka menjadi menarik minat masyarakat.
"Yang harus dilakukan ya memberikan pemahaman semua kegiatan harus dilakukan dengan protokol kesehatan, ini wajib dan menjadi kunci," ungkapnya.
Laura menyebut dengan diterapkannya protokol kesehatan, dapat mengurangi dampak penyebaran Covid-19.
Baca juga: Pilkada 2020: Puan Maharani Minta Pemda Tingkatkan Sosialisasi Protokol Kesehatan
Selain itu, pemerintah juga harus membuat keputusan tegas untuk menghadapi libur panjang.
Termasuk di dalamnya pemangkasan jumlah hari libur.
"Masyarakat yang banyak sekali jumlahnya ini sulit dikendalikan, maka dari itu pemerintah harus ada keputusan tegas, tidak hanya mengimbau, ini tidak cukup," ungkapnya.
"Kalau dikurangi ya dikurangi, ini menutup peluang masyarakat untuk melakukan kegiatan itu," ungkapnya.