Terungkap di Persidangan, Nurhadi Renovasi Rumah di Patal Senayan Mencapai Rp 14 Miliar
Dalam persidangan terungkap adanya renovasi rumah milik Nurhadi di Patal Senayan, Jakarta Selatan, yang mencapai angka Rp 14 miliar.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi seorang kontraktor bernama Budi Sutanto dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA).
Budi bersaksi untuk terdakwa mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono.
Budi Sutanto merupakan kontraktor atau pengawas teknis yang merenovasi serta membangun sejumlah rumah dan kantor milik Nurhadi.
Dalam persidangan tersebut, terungkap adanya renovasi rumah milik Nurhadi di Patal Senayan, Jakarta Selatan, yang mencapai angka Rp 14 miliar.
Hal itu terungkap setelah jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Budi Sutanto saat diperiksa di KPK.
Dalam BAP, Sutanto membeberkan bahwa biaya untuk perombakan rumah Nurhadi di Patal Senayan mencapai Rp 14 miliar.
"Dalam BAP saudara, renovasi perombakan di Patal Senayan sebesar Rp 14.500.792.707 miliar. Adapun pelaksanaan renovasi dilakukan pada 2017-2018?" tanya jaksa kepada Budi Sutanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (18/12/2020).
Budi pun mengamini BAP yang dibacakan oleh jaksa tersebut. Tak hanya rumah yang di Patal Senayan, jaksa pun membeberkan adanya renovasi dua rumah milik Nurhadi di Hang Lekir, Jakarta Selatan. Hal itu masih tertuang dalam BAP Budi Sutanto.
"BAP 20, terhadap renovasi bangunan tempat yang dimiliki Nurhadi dapat saya jelaskan detail pertama rumah di Hang Lekir 5 dan 8. Untuk hang lekir 5-6 senilai Rp 770.920.707. Sedangkan Hang Lekir 8/2, senilai Rp 741.439.876 juta. Benar?" tanya jaksa saat membacakan BAP Budi Sutanto.
Budi kembali mengamini pernyataan jaksa.
Lebih lanjut, jaksa kembali membeberkan adanya perombakan di Apartemen District 8 SCBD, Jakarta Selatan, dengan nilai total sekira Rp 3,9 miliar. Apartemen itu disebut-sebut juga milik Nurhadi.
"Selanjutnya di Apartemen District 8 tahun 2017-2018 habiskan anggaran Rp 3.900.729.880 miliar. Apakah tetap sesuai data yang saudara punya?" tanya jaksa ke Budi.
"Ya berdasarkan data," jawab Budi.
Budi mengaku bahwa semua pembayaran untuk renovasi bangunan tersebut dilakukan oleh Nurhadi secara langsung (cash), atau tidak melalui transfer.
"Semuanya cash. Tidak pernah (transfer)," kata Budi.
Menyikapi hal tersebut, Penasihat Hukum Nurhadi, Muhammad Rudjito, mengatakan bahwasanya KPK tengah mencari-cari pidana lain dari kasus yang sebelumnya telah menjerat kliennya tersebut.
"KPK sedang mencari-cari apakah ada tindak pidana lain, numpang dalam perkara ini. Sehingga nanti dikaitkan dengan perkara ini," kata Rudjito di sela-sela persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Karena soal renovasi itu kan tidak didakwakan. Sama sekali tidak ada dalam dakwaan. Karena itu KPK sedang mencari bukti-bukti yang akan dikaitkan dengan perkara lain," tambahnya.
Rudjito pun menepis jika uang yang dipakai Nurhadi untuk merenovasi rumah mencapai Rp 14 miliar di Patal Senayan, Jakarta Selatan itu berasal dari duit haram.
Ia mengatakan, uang untuk merenovasi rumah berasal dari usaha burung walet yang dipunyai Nurhadi.
"Ya kalau itu memang benar menurut tuduhan KPK itu uang enggak benar, silakan buktikan saja. Kita punya bukti kok, Pak Nurhadi punya usaha burung walet, sampai saat ini masih jalan. Nanti akan dibuktikan oleh beliau pada saat pemeriksaan terdakwa," kata Rudjito.
Rudjito mengungkapkan bahwa Nurhadi memiliki 12 usaha burung walet. Delapan di antaranya terdaftar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Yang jelas lebih dari delapan itu semua ada di LHKPN. Ada 12-an (usaha burung walet)," ujarnya.
Transaksi Valas
Saksi lainnya dalam persidangan mantan Karyawan PT Sly Danamas Money Changer, Windi Adila menyebut kakak ipar terdakwa Rezky Herbiyono, Yoga Dwi Hartiar kerap bolak-balik melakukan transaksi valas.
Dalam sebulan, kata Windi, Yoga bisa bertransaksi valas hingga 10 kali.
"Kisarannya bisa sampai 10 kali (transaksi). Enggak sama, kadang jumlahnya besar, kadang kecil. Sering di atas Rp500 juta, di bawah (Rp500 juta) juga sering," ungkap Windi.
Menurut Windi, Yoga paling kecil menukarkan uang asing senilai Rp 100 juta. Biasanya, sambung Windi, Yoga koordinasi terlebih dahulu soal nilai tukar mata uang asing sebelum bertransaksi.
Ia pun mengaku sempat bertemu dengan Yoga sekira dua sampai 3 kali.
"Dia (Yoga) nanya rate dahulu, setelah oke ya udah mbak deal kita proses. Dia kalau nukar kadang rupiah ke dolar kadang dolar ke rupiah. Kalau valas kita ambil ke tempatnya. Kalau rupiah kita kasih transfer dan cash. Kita antar melalui kurir aja makanya dia jarang datang," ujarnya.
Dari beberapa kali transaksi valas yang dilakukan Yoga, Windi mengaku ada uang yang ditransfer untuk Rezky Herbiyono.
Hasil transaksi valas tersebut, imbuhnya, mengalir ke rekening Rezky Herbiyono sebanyak satu sampai dua kali.
"Setelah saya dengar nama Rezky familiar buat saya. Tapi emang pernah nama Rezky ini pernah saya transfer. Enggak sering. Sekali atau dua kali. Enggak ingat," bebernya.
Nama Yoga Dwi Hartiar sempat muncul di dalam dakwaan Nurhadi dan Rezky Herbiyono.
Yoga disebut-sebut menjadi penampung uang untuk Nurhadi dan Rezky dari sejumlah pihak yang beperkara di lingkungan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK).
Dalam dakwaan Nurhadi dan Rezky, rekening Yoga Dwi Hartiar pernah digunakan untuk menerima uang dari Direktur PT Multi Bangun Sarana, Donny Gunawan.
Diduga, ada aliran uang sebesar Rp 3,5 miliar yang masuk ke dalam rekening Yoga Dwi Hartiar dari Donny Gunawan.
Uang sebesar Rp 3,5 miliar itu masuk ke rekening Yoga dalam dua kali tahapan.
Pertama, pada tanggal 17 Maret 2016 sebesar Rp 500 juta. Kedua, pada tanggal 31 Maret 2016 sebesar Rp 3 miliar. Uang itu diduga untuk kepentingan Nurhadi dan Rezky Herbiyono.
Menanggapi kesaksian, Muhammad Rudjito sang penasihat hukum mengatakan bahwa hingga kini belum ada aliran uang terkait pengurusan perkara yang masuk kedua kliennya.
Saksi yang dihadirkan belum mampu mengungkap aliran uang ke Nurhadi maupun Rezky.
"Intinya bahwa sampai saat ini belum ada bukti baik langsung maupun tidak langsung kepada Pak Nurhadi terkait dengan pengurusan perkara, sampai saat ini belum ada, baik langsung maupun tidak langsung," kata Rudjito.
Terkait pertemuan Nurhadi dengan tiga hakim agung dalam sidang sebelumnya, sambung Rudjito, pertemuan itu sama sekali tidak berkaitan dengan pengurusan perkara.
Terlebih MA pun telah menegaskan, tiga hakim agung yang bertemu dengan Nurhadi merupakan hakim agung Pengadilan Agama.
Rudjito menyatakan, pertemuan itu hanya untuk bersilaturahmi dan membahas soal anggaran. Karena memang Nurhadi diklaim bisa mengurus anggaran dengan baik.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan perkara ini dan hanya silaturahmi, minta masukan ke Pak Nurhadi terkait anggaran. Karena Pak Nurhadi punya kemampuan anggaran disusun secara baik, maka beliau-beliau ini minta masukan ke Pak Nurhadi," kata Rudjito.
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp 83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp 45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp 45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN.
Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat.
Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp 81.778.334.544. Tak terima, PT KBN mengajukan banding.
Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp 6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp 5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA.
Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp 5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 37.287.000.000.
Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp 2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp 2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp 7 miliar); Freddy Setiawan (Rp 23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp 1.687.000.000). (Tribun Network/ham/wly)