SKB Pelarangan FPI, Sudah Tepat Secara Prosedur?
Pada prinsipnya, Ghufron menjelaskan bahwa SKB merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah baru saja mengumumkan larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI), melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melibatkan enam menteri/kepala lembaga sekaligus.
Keenam menteri/kepala lembaga tersebut yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Polri, dan Kepala BNPT.
SKB tersebut dikeluarkan setidaknya dengan pertimbangan bahwa secara de jure FPI dianggap telah bubar, karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019.
Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Baca juga: Begini Suasana Petamburan Sehari Usai Penertiban Atribut FPI oleh Aparat Gabungan
Menyikapi SKB itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) mempertanyakan ketepatan prosedurnya.
"Namun demikian, apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?" demikian bunyi siaran pers Elsam, Imparsial, ICJR, dan PIL-NET Indonesia yang diterima Tribunnews.com, Kamis (31/12/2020).
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri selaku perwakilan, memandang upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok kekerasan dan intoleran di masyarakat merupakan langkah yang positif.
Baca juga: FPI Bubar, Dilarang Gunakan Atribut, Mantan Petinggi Akan Bentuk Ormas Baru
Namun demikian, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
"Dalam konteks negara demokrasi, kebebasan berserikat dan berorganisasi bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, tetapi juga merupakan komponen politik penting dari berjalannya sistem demokrasi," kata Ghufron.
Sejatinya, dijelaskan Ghufron, mengacu pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa, “...Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”.
Baca juga: Politikus PDIP: Pelarangan Aktivitas FPI Telah Melalui Kajian Hukum yang Matang
Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “.... Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”.
Artinya, Ghufron menerangkan, pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan Ormas.
Kata dia, pendaftaran semata-mata hanya diperlukan jika Ormas yang bersangkutan bermaksud untuk mendapatkan bantuan fasilitas dan layanan dari negara.