Kasus Hukum Antara Anak dengan Orangtua Marak, Faktor Perceraian dan Tekanan Ekonomi Mendominasi
Faktor perceraian dan tekanan ekonomi disebut menjadi faktor terbesar maraknya kasus hukum yang melibatkan antara anak dengan orangtua.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Faktor perceraian dan tekanan ekonomi dipandang menjadi faktor terbesar maraknya kasus hukum yang melibatkan antara anak dengan orangtua.
Hal itu diungkapkan oleh psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Abdul Hakim.
"Kejadian pelaporan anak ke orangtua, orangtua ke anak, tidak bisa terlepas dari situasi perkembangan masyarakat kita," ungkap Hakim dalam program Overview Tribunnews.com, Kamis (14/1/2021).
Baca juga: Polri Akan Beri Bimbingan Psikologi Kepada Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ182
Baca juga: Komnas HAM Minta Keterangan Ahli Psikologi Forensik untuk Rekaman Suara Terkait Tewasnya Laskar FPI
Hakim menyebut, dalam tiga tahun terakhir catatan Departemen Agama mengenai tingkat perceraian di Indonesia semakin meningkat.
"Peningkatannya 20 ribu sampai 30 ribu, bahkan ada catatan seperempat pernikahan berakhir perceraian, yang tidak terbayangkan 10 tahun 20 tahun yang lalu," ungkapnya.
"Kami dari psikologi fokus pada dampak lebih lanjut dari kasus ketidakharmonisan keluarga semacam ini yang berakhir ke kekerasan keluarga, perceraian, dan ketidakharmonisan antara anak dan orangtua," ungkapnya.
Adapun faktor lain yang juga menyumbang kasus ketidakharmonisan dalam keluarga adalah faktor sosial ekonomi.
"Yang kita lihat fenomena ini tidak lepas dari semakin tingginya tekanan sosial ekonomi di masyarakat kita, terutama di kelas menengah bawah."
"Seperti kasus laporan, tuntutan anak ke orangtua di NTB, tak terlepas dari tekanan ekonomi."
"Orangtua bekerja, ayah dan ibu bekerja, sementara anak sibuk dengan kegiatan masing-masing dan itu kemudian mempengaruhi kedekatan hubungan antara orangtua dan anak," jelasnya.
Baca juga: Fakta Wanita di Ponorogo Bunuh Bayinya, Bayi Nangis Saat Dilahirkan dan Polisi Datangkan Psikolog
Fenomena inilah yang disebut Hakim sebagai individualisasi.
"Ketika sudah individualisasi, anak melihat orangtua tidak seperti kita zaman dulu, mereka (saat ini) melihat orangtua sebagai orang yang bertanggung jawab, memenuhi kebutuhan mereka."
"Mereka punya harapan, kalau harapan itu tidak terpenuhi, otomatis mereka merasa kecewa, frustasi, membuat anak gelap mata dan melihat orangtua sebagai pihak yang bersalah."
"Dari situ kita menemukan kasus-kasus hukum yang cukup memprihatinkan tadi," ungkapnya.
Baca juga: 18 Trik Psikologi Sederhana untuk Kendalikan Situasi, Lakukan Hal Ini agar Orang Berhenti Bicara