Analisis Data soal Dugaan Sriwijaya Air SJ 182 Jatuh
Pengamat penerbangan menduga pesawat Sriwijaya Air SJ 182 mengalami oleng sebelum akhirnya jatuh dalam kondisi mesin masih hidup.
Editor: Daryono
Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC).
Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi cuaca kala pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer.
Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat.
Upaya perpindahan jalur ke Abasa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari, sebelum kecelakaan terjadi.
"Diarahkan ke jalur pintas itu bukan masalah dan wajar, tapi belum sampai (jalur pintas), dia terus oleng dan jatuh," ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman, saat dihubungi jurnalis BBC, Aghnia Adzkia pada Selasa (12/1/2021).
Baca juga: Dugaan Kronologi Sriwijaya Air SJ 182 Jatuh: Mesin Hidup, Tidak Meledak hingga Elevator Copot
Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.
Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, dia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh.
Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.
Dugaan disorientasi
Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi.
Meski demikian, dia menjelaskan hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat.
Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab.
"Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.