Perjalanan 'Janggal' Sriwijaya Air SJ 182, Diduga Hendak Berpindah Jalur dan 'Disorientasi'
Kedua hal tersebut diduga membuat pesawat oleng dan terjun bebas dalam kondisi mesin masih hidup.
Editor: Hasanudin Aco
"Diarahkan ke jalur pintas itu bukan masalah dan wajar, tapi belum sampai (jalur pintas), dia terus oleng dan jatuh," ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman, saat dihubungi jurnalis BBC, Aghnia Adzkia pada Selasa (12/1).
Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.
Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh.
Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.
Baca juga: Casing CVR Black Box Pesawat Sriwijaya Air Ditemukan, Memori Masih Dicari
Baca juga: Para Pengantin Baru yang Tenggelam Bersama Sriwijaya Air, Istri Hamil Muda Hingga Gagal Unduh Mantu
Dugaan disorientasi
Dari data yang sama, apabila digambarkan dalam bentuk tiga dimensi seperti video di bawah menggunakan data ketinggian pesawat, maka akan tampak arah jalur pesawat yang tak beraturan saat oleng dan jatuh.
Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi. Meski demikian, ia menjelaskan, hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat. Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab.
"Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.
"Analogi disorientasi itu kalau jalan di ruangan gelap dan mata ditutup, kita berpikir ini tegak tapi ternyata miring, berpikir naik tapi ternyata turun. Sekalipun pilot senior bisa disorientasi."
Mengutip lama Federation Aviation Administration, disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang.
Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi.
Tiga rangsangan sensorik yang berperan membentuk keseimbangan tubuh di antaranya penglihatan, saraf vestibular di telinga bagian dalam, dan proprioception atau persepsi rangsangan untuk mengetahui posisi tubuh.
Orientasi ruangan saat terbang sulit dicapai, tergantung dari arah, kekuatan, dan frekuensi stimulus ketiga sensor. Jika ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka akan terjadi konflik sensorik yang menyebabkan otak tidak bisa mengidentifikasi arah dan posisi.