Pakar TPPU Nilai Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Bukan Karena Pemberantasan Saja
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Ganarsih menilai turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terjadi karena banyak faktor.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Selain itu pemerintah juga menurut Yenti harus meringkas perizinan.
Semakin banyak dan panjang dalam memproses perizinan, maka semakin memperbesar peluang terjadinya suap.
"Praktik-praktik suap untuk memuluskan perizinan tentu sangat mempengaruhi IPK," katanya.
Yenti menambahkan menjaga iklim dan indeks demokrasi juga tidak kalah penting untuk memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia.
Ia mencontohkan mengenai gelaran Pilkada yang kini sedang hangat diperdebatkan apakah digelar pada 2022 atau 2024 berbarengan dengan Pemilu serentak.
"Hal seperti itu harus diredam, nah jangan diulang jangan dibuat runyam, karena akan memperngaruhi. Kegaduhan politik juga akan berpengaruh," kata dia.
Yenti mengatakan untuk memperbaiki IPK, pemerintah harus berupaya mengubah opini masyarakat semaksimal mungkin.
Sehingga langkah-langkah pembenahan yang dilakukan harus difokuskan pada aspek yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
"Indeks persepsi kan opini jadi harus diubah opini. karena memang kan kesan. Kesannya belum tentu betul tapi investasi memperhatikan kesan," katanya.
Sebelumnya Kantor Staf Presiden menanggapi dirilisnya Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International pada Kamis (28/1/2021).
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan bahwa Presiden Jokowi di dalam berbagai arahannya menegaskan, bahwa korupsi adalah musuh negara, dan tidak akan memberi toleransi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran ini.
"Presiden juga mengingatkan khususnya pada aparat penegak hukum dan penyelenggara negara untuk tidak memanfaatkan hukum untuk menakuti, memeras, dan korupsi, ini membahayakan agenda nasional," kata dia dalam siaran pers KSP, Jumat, (29/1/2021).
Jaleswari menjelaskan bahwa rilis Indeks Persepsi Korupsi ini penting bagi pemerintah sebagai evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi ke depan. Jaleswari memandang skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang tahun ini turun 3 poin (skor 37 skala 100), karena Indonesia masih menghadapi masalah dalam mengubah persepsi publik terhadap korupsi di internal pemerintahan.
"Karena masih maraknya pungutan liar (pungli) dan penggunaan koneksi untuk mendapatkan privilege layanan publik, integritas aparat penegak hukum, serta money politics," katanya.