Soal SKB 3 Menteri Penggunaan Pakaian Seragam, Pakar: Tampaknya Ada Beberapa Persoalan
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai terkait Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) memunculkan persoalan.
Penulis: Ranum KumalaDewi
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai terkait Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri) memunculkan persoalan.
Keputusan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag).
Keputusan ini mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Reza menyebut, terkait SKB 3 Menteri, tampaknya ada beberapa persoalan.
Baca juga: Kemendikbud: Kampus Merdeka Mampu Memerdekakan Potensi Mahasiswa
Baca juga: Nadiem Rajin Ngurusi Seragam Sekolah, Tetapi Nol Visi Pendidikan
Ia mengungkapkan, Pasal 29 ayat 2 menggunakan kata 'kemerdekaan', bukan 'kewajiban' memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun.
Lebih lanjut, ia mengatakan kata 'kemerdekaan' dapat ditafsirkan sebagai jaminan bahwa anak atau peserta didik, bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri.
"Anak atau peserta didik, berkat kata 'kemerdekaan', seakan bisa mengabaikan kewajiban mereka untuk berbusana tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka,"
"Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab," ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (6/2/2021).
Lantaran hal tersebut, ia berharap perlu dilakukan perumusan ulang atas pasal 29 ayat 2 UUD, untuk menutup celah bagi interpretasi menyimpang.
Lebih lanjut, ia memberikan saran untuk mengganti kata "kemerdekaan" pada pasal tersebut.
"Kata "kemerdekaan" perlu diberikan penjelasan tentang seberapa jauh kemerdekaan itu diterapkan dan tidak diterapkan pada subjek anak-anak," ujarnya.
Reza juga mengungkapkan, bahwa frasa 'memberikan kebebasan kepada peserta didik' dapat bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri.
Ia menyebut, tidak ada pasal dalam undang-undang (UU) yang mewajibkan dipenuhinya pendapat anak.
"UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa anak berhak mengeluarkan pendapatnya. Tapi pada saat yang sama tidak ada pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut," Jelas Reza.