Agus Widjojo: Politik Dinasti Hambat Konsolidasi Demokrasi dan Lemahkan Institusionalisasi Parpol
Tujuan diskusi terbatas tersebut untuk menganalisis warna politik dan kekuatan partai politik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) mengadakan diskusi terbatas tentang pilkada serentak dan konstelasi politik di daerah di kantor Lemhannas RI, Kamis (11/2/2021).
Tujuan diskusi terbatas tersebut untuk menganalisis warna politik dan kekuatan partai politik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota melalui survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas.
Kendati berlangsung di tengah pandemi Covid-19, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 9 Desember 2020 lalu dapat dikatakan berjalan sukses.
Baca juga: Gubernur Lemhannas: AS dan Myanmar Contoh Ekstrem Demokrasi
Ada 270 daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo membuka dan memberikan sambutannya dalam acara tersebut.
Baca juga: Meutya Hafid Sesalkan Kudeta Militer Myanmar: Ini Kemunduran Demokrasi di Myanmar
Agus menggarisbawahi munculnya fenomena politik dinasti yang menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal sekaligus melemahkan institusionalisasi partai politik. Penyebabnya karena mengemukanya pendekatan personal ketimbang kelembagaan.
“Akibatnya rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok orang dalam bentuk oligarki,” ujar Agus, dalam keterangannya, Jumat (12/2/2021).
Fenomena lain yang disoroti Agus adalah masih kuatnya praktek politik uang.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 provinsi.
Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi Indonesia karena akan memengaruhi masyarakat untuk memilih secara emosional dan kesenangan sesaat.
"Hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek. Tidak melihat visi-misi pembangunan jangka panjang," kata dia.
Selain itu, Agus mengungkap adanya indikasi 21 kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Dampak dari ketidaknetralan ASN ini juga bersifat jangka panjang dan akan mempengaruhi pola manajemen ASN yang tidak lagi berdasarkan profesionalisme tapi lebih kepada pendekatan personal terhadap pejabat.