Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hadapi Anomali Cuaca, Harus Ada Konservasi Tanah dan Air

Permukaan daratan sangat menentukan apakah air hujan itu bisa diserap (infiltrasi) secara maksimal atau semua menjadi air larian (run-off) permukaan

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Hadapi Anomali Cuaca, Harus Ada Konservasi Tanah dan Air
Tribun Jogya/Bramasto Adhy
Suasana sekitar Jembatan Gondolayu, Yogyakarta, Selasa (28/08/2012). Sepekan mendatang Yogyakarta diperkirakan diselimuti awan mendung. (TRIBUN JOGJA/Bramasto Adhy) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Banjir menjadi masalah serius yang harus segera diselesaikan, curah hujan tinggi merupakan salah satu fenomena alam yang umum terjadi di Dunia. Curah hujan merupakan suatu siklus yang umum terjadi di alam dengan kala atau periode ulang tertentu.

Dengan adanya siklus ini, maka pada satu periode waktu akan terjadi probabilitas periode ulang hujan dengan intensitas tertentu.

Dengan adanya perubahan pola hujan saat ini maka akan lebih sulit memprediksi kejadian hujan di suatu lokasi, meskipun tempat tersebut sudah dilengkapi dengan pos pengamatan hujan atau pos klimatologi yang lengkap.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir tersebut berdampak pada 10 kabupaten/kota. Tercatat lebih dari 24 ribu rumah terendam dan sekitar 40 ribu masyarakat harus mengungsi akibat banjir besar yang terjadi.

“Betul, anomali cuaca membuat curah hujan dengan intensitas tinggi di beberapa lokasi tertentu terjadi hujan ekstrim. Pencatatan data hujan oleh BMKG Kalimantan Selatan merekam curah hujan ekstrim tersebut, diantaranya rekaman data di Stasiun BMKG Bandara Syamsudin Noor menunjukkan curah hujan ditakar tanggal 10 Januari 2021 sebesar 125 mm, tanggal 11 Januari 2021 sebesar 30 mm, tanggal 12 Januari 2021 sebesar 35 mm, tanggal 13 Januari 2021 sebesar 51 mm, tanggal 14 Januari 2021 sebesar 249 mm dan tanggal 15 Januari 2021 sebesar 131 mm,” kata Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto kepada media, Minggu,28 Februari 2021.

Selain itu Stasiun Klimatologi Banjarbaru juga mencatat hujan intensitas tinggi juga terjadi di lokasi lainnya, seperti di kecamatan Landasan Ulin Timur curah hujan juga sudah tercatat ekstrim dari 2 hari terakhir yaitu berturut-turut 110 mm/hari (tanggal 13) dan 265 mm/hari (tanggal 14), tertinggi dibanding wilayah sekitar.

Baca juga: Rumah Miing Bagito Pernah Kebanjiran, Rina Gunawan Terobos Genangan Antar Makanan Untuknya

Sudah seringkah hujan seperti itu terjadi? Analisis menggunakan data hujan harian selama periode 1981-2019 menunjukkan bahwa hujan sebesar 249 mm yang terukur di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor pada tanggal 14 Januari 2021 memiliki periode ulang lebih dari 100 tahun.

Berita Rekomendasi

Banyak orang menilai banjir juga dipengaruhi oleh perubahan tata ruang kawasan? Banyak orang menilai banjir juga dipengaruhi oleh perubahan tata ruang kawasan? Itu tidak bisa dipungkiri.

Faktor curah hujan ekstrem, faktor lingkungan dan permukaan juga merupakan faktor kunci.

Permukaan daratan sangat menentukan apakah air hujan itu bisa diserap (infiltrasi) secara maksimal atau semua menjadi air larian (run-off) permukaan.

Kondisi permukaan yang berkurang tutupan (vegetasi) nya akan mengakibatkan air hujan dilarikan ke permukaan sebagian besarnya.

Dari data mosaik Landsat pada periode tahun 2010 dan 2020 yang dianalisis LAPAN menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan secara massif pada daerah penutup lahan DAS Barito.

Baca juga: Dipicu Cemburu, Suami Tikam Dada Istri Pakai Pisau Belati di Barito Kuala

Meskipun banjir, persoalan klasik di banyak daerah, tetapi intensitas dan luasan banjir dipicu curah hujan ekstrim pada zaman iklim modern ini menunjukkan tren peningkatan, dan terdapat indikasi atau kecenderungan bahwa bencana hidrometeorologi seperti ini akan semakin sering dan semakin dahsyat seiring perubahan iklim yang terjadi.

Oleh karenanya dalam memitigasi dampak bencana hidrometeorologi seperti di Kalimantan Selatan, maka pendekatan penanggulangan bencana harus berbasis data.

“Misalnya infrastruktur pengendali banjir harus dikaji ulang desain kekuatannya untuk bisa menghadapi kejadian ekstrim yang dulunya memiliki periode ulang ratusan tahun namun kini bisa hadir dalam jangka waktu yang pendek dengan peluang kejadian yang besar,” ungkapnya.

Konsep Kanalisasi.

Adanya perubahan pola hujan saat ini akan lebih sulit memprediksi kejadian hujan di suatu lokasi, meskipun tempat tersebut sudah dilengkapi dengan pos pengamatan hujan atau pos klimatologi yang lengkap.

Permasalahan lain timbul dengan adanya perubahan tata guna lahan, seperti di daerah yang memiliki kemiringan lereng yang cukup terjal, akan berpengaruh terhadap debit limpasan atau biasa disebut runoff.

Baca juga: Sistem Penempatan PMI dengan Satu Kanal ke Arab Saudi Dinilai Bisa Cegah Pengiriman Ilegal

Dalam ilmu hidrologi, sudah dilakukan penelitian dan perhitungan, sehingga didapatkan indeks perhitungan perkiraan debit dengan parameter curah hujan, tutupan lahan dan kemiringan lereng.

Dari rumus yang terbentuk ini, dilakukan perhitungan debit banjir yang terjadi dari curah dan durasi hujan tertentu pada akhirnya dapat dilakukan perhitungan runoff sampai mendapatkan tingkat erosi yang terjadi di daerah tersebut.

Tingkat erosi akan semakin tinggi seiring berubahnya tutupan lahan dari vegetasi menjadi lahan terbuka. Apabila lahan terbuka tersebut, berubah menjadi bangunan, maka erosi akan lebih kecil, namun runoff akan sangat besar. Morfologi yang rentan terhadap banjir, berada di daerah yang memiliki perubahan fungsi lahan ini.

“Banjir luapan sungai sangat umum terjadi sebagai fenomena alam yang kemudian menjadi bencana apabila pada daerah bantaran sungai tersebut dibangun perumahan. Kemiringan lereng yang landai menyebabkan kecepatan aliran yang lambat namun dengan debit air tinggi, maka terjadilan luapan sungai di kawasan dataran banjir atau flood plain tersebut,” jelas Dr. Pulung Arya Pranantya, S.T., M.T., Balai Litbang Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan, Kementerian PUPR.

Baca juga: Joyday Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Banjarmasin

Sebagai pertimbangan ekonomi, maka pembangunan infrastruktur yang mengakomodasi periode ulang 50 tahun sudah sangat memadai. Bahkan untuk kawasan perkotaan, drainase yang di desain adalah desain utuk periode ulang 10 tahun. Prinsip penggunaan waduk tampungan adalah untuk mengendalikan ketersediaan air, baik air tanah maupun permukaan.

Saat itu, Belanda telah giat membangun kanal, menurut Bambang Subiyakto (2005) masyarakat Banjar sedikitnya mengenal tiga macam kanal secara hirarki berturut-turut Anjir (Antasan), Handil (Tatah) dan Saka. Ke-3 kanal ini saling terhubung dan memiliki fungsi masing-masing, dan pada prinsipnya merupakan aliran sungai buatan untuk menampung air, selain kebutuhan pertanian dan transportasi warga. Jejak kanal ini banyak ditemukan di wilayah Banjarmasin dan Barito Kuala.

“Seperti sudah dijelaskan, bahwa perubahan fungsi lahan harus dikompensasi dengan upaya rekayasa. Sebagai contoh, pada saat pemerintahan Belanda di Batavia, sudah di desain banjir kanal barat sebagai kompensasi perubahan kawasan puncak bogor dari hutan pinus menjadi kebun teh,” jelasnya.

Upaya yang seharusnya dilakukan untuk perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi kebun sawit atau hutan menjadi area pertambangan. Bagaimana metode nya atau berapa volume besaran kompensasinya, harus ada perhitungan dari analisis dampak lingkungannya.

“Jadi AMDAL itu bukan hanya sekedar ijin, tapi seharusnya AMDAL menjadi dokumen pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka kompensasi perubahan fungsi lahan. ,” tegas Pulung.

Baca juga: Burung Pelanduk Kalimantan Kembali Teridentifikasi Setelah 172 Tahun Hilang

Senada dengan BMKG dan PUPR, KLHK juga memberikan rekomendasi kepada Pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrim. Selain itu mempercepat dan memfokuskan kegiatan RHL di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir.

''Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait dengan lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama Pemda,'' tegas Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), MR Karliansyah belum lama ini kepada media.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas