Sespri Ungkap Edhy Prabowo Simpan Uang Tunai Rp 10 Miliar di Rumah
Amiril mengatakan uang dari Edhy Prabowo biasa dia simpan di rumah yang terletak di Komplek Perumahan Kalibata.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Effendi menyatakan tidak banyak yang dapat ia tambahkan karena penyidik KPK sudah punya semua data secara detail.
"Ada deretan peristiwa, deretan rapat-rapat. Ada berkas-berkas. Ada catatan siapa saja yang hadir. Ada foto-foto. Pertanyaan penyidik KPK juga profesional dan tajam. Kalau saja penyidik KPK punya cukup waktu, seluruh fakta akan terbuka," katanya.
KPK Panggil Istri Edhy Prabowo, Diduga Punya Informasi Penting soal Suap Benur
KPK mengagendakan pemeriksaan terhadap istri dari eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Iis Rosita Dewi.
Pemanggilan Iis adalah untuk mendengarkan keseksiannya terkait tersangka dugaan suap ekspor benih lobster yang menjerat suaminya, Edhy Prabowo.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, nantinya Iis akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Edhy.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka EP (Edhy Prabowo)," kata Ali melalui keterangan resminya, Jumat (5/3/2021).
Baca juga: KPK Sita Rumah Milik Staf Khusus Edhy Prabowo di Cilandak
Lebih lanjut, pada perkara ini istri dari Edhy Prabowo itu diduga memiliki informasi sangat berharga guna mengembangkan perkara ekspor benur ini.
Tidak hanya, Iis kata Ali, Komisi Antirasuah juga memanggil 12 saksi lain yang dinilai terlibat dalam perkara yang menjerat Edhy Prabowo.
Satu diantara 12 saksi tersebut adalah Plt Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian dan Kelautan (KKP) Muhammad Zaini Arifin.
Tidak hanya Zaini, terdapat satu nama lain yang menjabat sebagai Direktur di KKP yang diperiksa KPK yakni Trian Yunanda selaku Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ditjen Tangkap Perikanan Tangkap.
Adapun KPK telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Mereka adalah eks Menteri Sosial Edhy Prabowo, Staf Khusus Menteri KP Syafri dan Andreu Pribadi Misanta, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi, seorang staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin sebagai penerima suap.
Ngaku Diperintah Edhy Prabowo, Eks Pejabat KKP Terpaksa Setujui Izin Ekspor Benur 5 Perusahaan
Sementara itu, mantan Dirjen Tangkap KKP, M Zulficar Muchtar mengaku pernah diminta Menteri KP Edhy Prabowo untuk percepat proses izin lima perusahaan pengekspor benih lobster.
Hal ini ia ungkap saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito alias penyuap Menteri KP Edhy Prabowo terkait kasus suap ekspor benur, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/3/2021).
Mulanya dia menerangkan ada dua perusahaan yang melompati proses izin ekspor benur di KKP. Padahal dua perusahaan itu belum mendapat persetujuan dari Zulficar selaku Dirjen Tangkap KKP.
Pasalnya kata Zulficar, perusahaan yang mendapat izin ekspor benur harus penuhi sejumlah syarat.
Baca juga: KPK Pertajam Bukti Pencucian Uang di Kasus Edhy Prabowo
Antara lain perusahaan tersebut harus kantongi surat keterangan sukses melakukan budidaya, dan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) dari Dirjen Tangkap KKP yang Zulficar pimpin.
"Jadi langsung lompat ke ekspor, yang 2 perusahan tanpa sepengetahuan saya," ungkap Zulficar di persidangan.
Pada pertengahan tahun 2020, Zulficar mendapat informasi ada 5 perusahaan lainnya yang disebut siap ekspor.
Namun ia tidak menandatangani pengajuan surat sukses budidaya lantaran kelimanya baru menjalankan usaha budidaya selama 2 bulan ke belakang, dan sudah dianggap sukses.
Sehingga Zulficar enggan menandatangani surat tersebut karena tidak yakin.
"Saya nggak yakin karena baru 1 sampai 2 bulan berjalan, minta izin tapi dibilang udah sukses restocking, budidaya, tapi saya nggak yakin. Budidaya nggak seperti ini, tapi dari dirjen dan direkturnya ada segmentasi dalam buddiaya, tapi menurut saya nggak valid," jelas dia.
Tapi saat itu Menteri KP Edhy Prabowo memerintahkan dirinya untuk tetap menyetujui pengajuan surat kelima perusahaan tersebut.
Lewat sambungan telepon, Edhy Prabowo beralasan khawatir barang ekspor dari perusahaan - perusahaan itu sudah di bandara.
Jika tak segera disetujui, Edhy Prabowo takut dipermasalahkan karena membuat perusahaan itu merugi.
Setelah mengikuti perintah Edhy Prabowo, satu pekan setelah dokumen kelima perusahaan terbit, Zulficar memutuskan mundur dari jabatan Dirjen Tangkap KKP karena masih menilai ada kejanggalan atas proses administrasi itu.
"Lalu Pak Menteri telepon saya, 'Pak Fickar diloloskan saja perusahaan tersebut, khawatir barangnya sudah di bandara, kalau gagal surat tidak keluar bisa-bisa barangnya rugi, kita bermasalah, itu kata pak menteri'. Saya bilang 'baik saya cek lagi, administratif sudah lengkap semua'," kata Zulfikar.
"Akhirnya saya tanda tangani 5 dokumen tersebut, dan minggu depannya saya ajukan pengunduran diri," sambung dia.
Selain kejanggalan tersebut, alasan dirinya mundur juga berkaca dari Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang dinilai berpotensi membuka ruang pidana korupsi di lingkungan KKP khususnya terkait izin ekspor benur.
"Saya khawatir komitmen anti korupsi identitas ini perlu diingatkan, sehingga saya mengundurkan diri," pungkasnya.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Suharjito didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada Edhy.
Suap diberikan melalui perantaraan Safri dan Andreau Misanta selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy yang juga anggota DPR RI Iis Rosita dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK).
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.
PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri.
Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020.
Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya.
Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.