YLBHI Minta Presiden Jokowi Tidak Tanda Tangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Permasalahan lainnya adalah menyangkut potensi pertentangan pasal dengan peraturan di atasnya seperti UU TNI.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) meminta Presiden Joko Widodo tidak menandatangani Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pelibatan TNI dalam menangani terorisme.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan draf Perpres yang lama harus diubah, karena berbahaya dan melabrak banyak peraturan perundang-undangan lainnya. YLBHI pun meminta pemerintah terlebih dulu menyerap masukan dari masyarakat.
"Perlu dilakukan perumusan kembali draf rancangan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk perguruan tinggi yang konsern terhadap masalah terorisme, dan masyarakat sipil yang selama ini bekerja dalam penanganan kekerasan ekstrem," kata Isnur dalam keterangannya, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Kepala BNPT: Perpres 7/2021 Kedepankan Langkah Pencegahan Tindakan Terorisme
Kata Isnur, Raperpres tentang Pelibatan TNI dalam menangani terorisme harus diupayakan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan agar selaras.
"Sangat dibutuhkan upaya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan, sehingga aturan yang lahir selaras dengan aturan yang telah ada sebelumnya, dan tidak mengalami tumpang tindih," tuturnya.
Perlu diketahui sebelumnya, beberapa waktu lalu Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Elsam, Imparsial, PBHI, KontraS, YLBHI, Setara Institute, HRWG, LBH Pers, YPII, PPHD Univ. Brawijaya, Pusham Unimed, Public Virtue Research Institute, IDeKa Indonesia, Centra Initiatives, LBH Jakarta, ICJR menguraikan pasal-pasal bermasalah dalam perpres itu, yang disebut akan mengubah model penanganan terorisme di Indonesia dari model sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum (crime control model) menjadi model perang (war model).
Permasalahan lainnya adalah menyangkut potensi pertentangan pasal dengan peraturan di atasnya seperti UU TNI.
Misalnya, dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI).
Lalu mengenai penggunaan APBD untuk TNI ketika terlibat dalam penanganan terorisme. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yangh mengatur anggaran TNI hanya dari APBN.
Sebelumnya, pada November 2020, Komisi III DPR RI sempat memberi catatan terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Menurut Komisi III, pelibatan TNI membutuhkan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai maksud dan tujuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, Komisi III juga meminta pemerintah berhari-hati dalam menetapkan Perpres tersebut.
Sebab, Perpres itu diketahui akan mengatur ketentuan tentang mekanisme penggunaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap tugas TNI dalam lingkup UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.