Apa Itu Bom Bunuh Diri? Ini Alasan Berkembangnya Penggunaan Bom Bunuh Diri
Simak pembahasan mengenai apa itu bom bunuh diri, alasan berkembangnya penggunaan bom bunuh diri dan cara menghadapi bom bunuh diri.
Penulis: Lanny Latifah
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini pembahasan mengenai apa itu bom bunuh diri dan alasan berkembangnya penggunaan bom bunuh diri.
Bom bunuh diri sifatnya tidak pandang bulu, dan dengan jelas bermaksud untuk membunuh atau melukai siapa pun yang berada dalam jangkauan ledakan.
Seperti diberitakan sebelumnya, sebuah ledakan diduga bom bunuh diri terjadi kawasan Gereja Katedral Makassar di Jl Kajaolalido - MH Thamrin, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada hari Minggu (28/3/2021).
Ledakan tersebut berawal dari adanya dua orang mencurigakan menggunakan sepeda motor yang berusaha masuk ke dalam lokasi Gereja Katedral Makassar.
Baca juga: Bom di Makassar, Fraksi PKS: Kepolisian Harus Usut Tuntas Apa Motif dan Siapa Aktornya
Baca juga: Misa Minggu Palma di Gereja Katedral Makassar Sementara Ditiadakan Pasca-Ledakan Bom Bunuh Diri
"Peristiwa terjadi setelah kami selesai ibadah kedua, Misa kedua," ujar Pastor Wilhelminus Tulak, dikutip dari siaran langsung YouTube Kompas TV, Minggu (28/3/2021).
"Lantas masuklah diduga pelaku bom bunuh diri, dia menggunakan motor roda dua.
Petugas keamanan menahan di depan pintu itu, dan kemudian terjadilah ledakan," lanjutnya.
Lantas apa itu bom bunuh diri?
Dikutip dari britannica.com, bom bunuh diri merupakan tindakan di mana seseorang secara pribadi mengirimkan bahan peledak dan meledakkannya untuk menimbulkan kerusakan terbesar, termasuk membunuh dirinya sendiri.
Korban bom bunuh diri sebagian besar adalah warga sipil yang tidak menaruh curiga (meskipun tokoh politik dan personel militer sering menjadi sasaran utama).
Selain itu, karena bukti yang ada, para pelaku bom bersedia untuk mati dengan tangan mereka sendiri.
Hampir semua bom bunuh diri terkait dengan penyebab atau keluhan politik.
Tidak seperti taktik bunuh diri yang lahir dari keputusasaan dalam perang, bom bunuh diri sengaja digunakan oleh teroris untuk efek politik yang diperhitungkan.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh bom bunuh diri dapat bersifat fisik dan psikologis.
Untuk menimbulkan kerusakan yang maksimal, para pelaku bom bunuh diri sangat bergantung pada unsur tertentu.
Unsur tertentu yang dimaksud adalah hasil dari mengubah kehidupan sehari-hari menjadi senjata.
Misalnya, pelaku bom bunuh diri sering kali memakai bahan peledak di balik pakaian, membawanya di ransel, atau bahkan menyembunyikannya di rangka sepeda.
Tak hanya itu saja, untuk menimbulkan kerusakan yang lebih besar, pelaku bom bunuh diri bisa juga mengendarai kendaraan yang penuh dengan bahan peledak.
Baca juga: Kapolri Perintahkan Kepala Densus 88 Berangkat ke Makassar Sikapi Aksi Bom Bunuh Diri
Baca juga: Kronologi Ledakan di Gereja Katedral Makassar, Pastor : Peristiwa Terjadi Setelah Ibadah Kedua
Penggunaan bom bunuh diri berkembang karena tiga alasan utama, yakni:
- Pertama, bom bunuh diri hampir tidak mungkin dicegah oleh pasukan keamanan.
Pembom seperti tiga generasi kedua warga Inggris-Pakistan dan satu imigran muda dari Jamaika, yang menewaskan 52 orang dalam pemboman London tahun 2005, hampir tak terhentikan begitu mereka berkomitmen untuk mati dan membunuh orang lain.
- Kedua, bom bunuh diri menghasilkan publisitas.
Perhatian media bagaikan oksigen bagi teroris.
Bom bunuh diri merupakan topik berita yang sangat besar.
Hal tersebut dikarenakan kesediaan para pembom untuk mati karena suatu alasan dan kerusakan mengejutkan yang ditimbulkan tanpa pandang bulu terhadap target.
- Ketiga, bom bunuh diri yang berhasil membutuhkan sedikit keahlian dan sedikit sumber daya, selain bom dan seseorang yang mau membawanya.
Oleh karena itu, bagi kelompok yang bertekad untuk menyebarkan teror, bom bunuh diri jauh lebih hemat biaya daripada taktik lain seperti penyanderaan, yang lebih membutuhkan sumber daya, perencanaan, dan pelatihan.
Bom bunuh diri sebagai senjata strategis
Kelompok militan menggunakan bom bunuh diri tidak hanya untuk alasan praktis, tetapi juga untuk tujuan strategis yang lebih luas.
Ilmuwan politik Kanada, Mia Bloom, mencatat bahwa bom bunuh diri sering menjadi bagian dari persaingan antar kelompok untuk mendapatkan legitimasi.
Seperti halnya ketika kelompok Islam Hamas menggunakan kesediaan beberapa anggotanya untuk bunuh diri dalam serangan terhadap Israel, untuk mengklaim superioritas moral atas penguasa politik.
Di sisi lain, bom bunuh diri juga bisa menjadi metode yang efektif untuk menekan demokrasi untuk menghentikan intervensi asing.
Misalnya, seperti yang terjadi dalam penarikan pasukan Barat dari Lebanon tahun 1983, dan dalam keputusan India untuk tidak memasukkan kembali pasukan militer ke Sri Lanka setelah pembunuhan Gandhi pada tahun 1991.
Apapun tujuan jangka panjang mereka, jelas bahwa para pemimpin dari beberapa kelompok, sebagai bagian dari kampanye mereka untuk mengeksploitasi kondisi politik, sosial, dan ekonomi, memanfaatkan bom bunuh diri secara rasional dan penuh perhitungan.
Namun, keberhasilan taktik tersebut tidak selalu berarti keberhasilan dalam strategi kekerasan politik, karena bom bunuh diri adalah pedang bermata dua.
Jika digunakan terlalu sering dan terlalu sembarangan, hal itu dapat menjadi tidak terlalu mengejutkan dari waktu ke waktu dan bahkan dapat mengasingkan populasi yang dibutuhkan militan untuk mempertahankan perjuangan jangka panjang mereka.
Baca juga: Bom di Katedral Makassar, Ini Fakta-fakta yang Sejauh Ini Kita Tahu
Baca juga: FAKTA Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar: Motor yang Dipakai Pelaku atas Nama Hasnawati
Cara menghadapi bom bunuh diri
Negara-negara yang menghadapi serangan bunuh diri harus mengambil tindakan untuk mencegahnya.
Tindakan tersebut dapat bersifat aktif atau menyinggung, mulai dari penegakan hukum yang agresif (termasuk pembuatan profil populasi dan kelompok usia tertentu) hingga misi kontrateroris yang kejam terhadap sel, organisasi, dan pemimpin.
Tindakan lain bisa pasif atau defensif, berkisar dari pos pemeriksaan jalan raya dan pemeriksaan penumpang maskapai, hingga tindakan hukum terhadap perjalanan atau bahkan hingga pembangunan tembok dan pagar untuk mengontrol pergerakan.
Terlepas dari tindakan apa yang digunakan, mereka harus diimbangi dengan beratnya ancaman, agar tidak mengikis nilai-nilai masyarakat.
Misalnya di Amerika Serikat, kemampuan Badan Keamanan Nasional untuk melakukan 'penyadapan tanpa jaminan', atau pemantauan elektronik terhadap komunikasi domestik, membuat para pembuat undang-undang dan kelompok kebebasan sipil menyatakan bahwa kewenangan tersebut membahayakan proses hukum dan kebebasan pribadi yang dijamin oleh undang-undang.
(Tribunnews.com/Latifah)