KSPI : Dugaan Indikasi Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan Harus Dilanjutkan
Buruh minta dugaan indikasi korupsi di BPJS Naker dilanjutkan oleh Kejagung dan gelar perkaranya dilakukan secara transparan dalam bentuk uji publik.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengakui dana jaminan hari tua (JHT) masih defisit kepada sejumlah media.
Hal ini terlihat dari rasio kecukupan dana (RKD) yang di bawah 100 persen sejak 2018 hingga Februari 2021.
Riciannya, rasio kecukupan dana pada Desember 2018 sebesar 96,6 persen, Desember 2019 sebesar 96,9 persen, Desember 2020 sebesar 95,9 persen, dan Februari 2021 sebesar 95,2 persen.
Adapun rasio kecukupan dana bisa dikatakan sebagai kemampuan lembaga atau perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada peserta atau kemampuan manajemen dalam mendanai program pensiunnya.
Baca juga: Temui Wapres, Dirut BPJS Kesehatan Bahas Optimalisasi Program Donasi dan Crowdfunding
Menurut Anggoro, penyebab defisit adalah dari dana yang miliki BPJS Ketenagakerjaan, ada 23 persen dana yangdikelola di instrumen saham dan reksa dana.
Sementara itu, instrumen saham dan reksa dana memiliki risiko pasar yang membuat dana investasi BPJS Ketenagakerjaan turun atau unrealized loss.
Menanggapi hal itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengapresiasi keterbukaan Direksi BPJS Ketenagakerjaan yang baru.
Yang secara sadar menyampaikan bahwa iuran dari JHT yang masuk tidak cukup untuk membayar klaim keseluruhan JHT, karena rasionya tidap pernah 100%.
“Ini senada dengan apa yang pernah disampaikan KSPI dalam pertemuan dengan Direksi BPJS Ketenaagkerjaan yang baru pada tanggal 17 Maret 2021. Saat itu KSPI menyatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak sehat, karena iuran yang diterima oleh BPJS Ketenagakerjaan per tahun sebesar Rp33 triliun tetapi BPJS Ketenagakerjaan membayar klaim JHT kepada pesertanya sebesar Rp34 triliun,” ujar Said Iqbal, kepada wartawan, Rabu (31/3/2021).
“Ini artinya tidak sehat. Besar pasar daripada tiang. Apalagi ditemukan indikasi dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung dalam tata kelola keuangan investasi pada saham dan reksa dana yang berpotensi merugikan negara Rp20 triliun,” tegasnya.
Baca juga: Pesan Jaksa Agung Terkait Penanganan Perkara Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan
Angka-angka ini menurut Said Iqbal menjelaskan bahwa potensi kerugian salah kelola investasi di saham dan reksa dana akan mengakibatkan BPJS Ketenagakerjaan tidak sehat dan merugikan negara dan peserta, khususnya para buruh.
Tentang klaim dari pihak BPJS Ketenagakerjaan yang menyatakan lembaganya dalam keadaan sehat (likuiditas keuangan), dia berpandangan hal itu lebih dikarenakan total akumulasi keuangan dan asset BPJS Ketenagakerjaan sangat besar, hampir Rp500 triliun.
Dengan dana sebesar ini, kata Said Iqbal, bisa saja BPJS mengklaim masih sehat dan mampu membayar.
Tetapi yang dipersoalkan KSPI dan buruh Indonesia, mengapa terjadi indikasi dugaan korupsi Rp20 triliun akibat salah kelola investasi saham dan reksa dana selama 3 tahun berturut-turut dan tidak di 'cut loss' (dijual saham yang rugi tersebut).
"Sehingga ketika terjadi unrealized loss, saham yang rugi tersebut makin besar kerugiannya. Apakah BPJS Ketenagakerjaan 'sebodoh itu' membiarkan terjadi kerugian yang makin mendalam sampai dengan 20 triliun sebagaimana dugaannya diungkap oleh Kejagung?" jelasnya.
Baca juga: KSPI akan Lakukan Aksi Jika Menaker Tetapkan THR 2021 Bisa Dicicil
Menurut Said Iqbal, di dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengatur 9 azas dalam pengelolaan BPJS. Antara lain, keterbukaan, kehati-hatian, dan dana amanah.
Sementara di pasal lain dalam UU tersebut dinyatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk oleh UU BPJS.
Dengan kata lain, BPJS Ketenagakerjaan adalah wali amanah atau trust fund.
Dengan azas dan badan hukum tersebut, dia mengatakan jelas pemilik iuran/keuangan dan asset BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Ini berarti, kekayaan dan asset BPJS Naker bukan milik pemerintah saja atau BUMN.
Baca juga: KSPI Beberkan Ada Ribuan Perusahaan Belum Lunasi THR Tahun 2020, Begini Respons Kemenaker?
“Itulah sebabnya, KSPI mewakili buruh Indonesia meminta dugaan indikasi korupsi di BPJS Naker sebesar Rp20 triliun dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung dan gelar perkaranya dilakukan secara transparan dan terukur dalam bentuk public hearing (uji publik),” kata Said Iqbal.
“Jaksa Agung dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan harus berani, jujur, dan bersedia melakukan public hearing bersama di DPR dalam rapat terbuka DPR RI dengan mengundang perwakilan serikat buruh, perwakilan Apindo/Kadin dan perwakilan pemerintah yang dapat diliput secara terbuka oleh media nasional (elektronik, cetak, dan online),” tambahnya.
Bilamana kejaksaan Agung dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak bersedia melakukan public hearing tentang dugaan indikasi korupsi Rp20 triliun di BPJS Ketenagakerjaan, Said Iqbal menegaskan KSPI dan buruh Indonesia mendesak DPR RI membentuk Pansus Dugaan Korupsi BPJS Ketenagakerjaan.
"Selain itu, KSPI juga akan mengorganissir aksi buruh terus menerus di kantor pusat dan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. KSPI dan buruh Indonesia akan terus menggaungkan #SelamatkanUangBuruhdiBPJSNaker dan #LawanKorupsidiManapun," tandasnya.