BNPT: Teroris di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Punya Kaitan Ideologi
Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mengatakan teroris di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta Selatan punya kaitan ideologi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mengatakan teroris di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta Selatan punya kaitan ideologi.
Keduanya memiliki ideologi yang terkait yakni takfiri atau mengkafirkan mereka yang memiliki paham berbeda dengan kelompoknya.
Namun demikian, kata Ahmad, teroris di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta tidak terikat secara jaringan mengingat teroris di Mabes Polri disimpulkan melakukan aksinya sendiri.
Baca juga: Antisipasi Aksi Terorisme Jelang Paskah, Keuskupan Agung Jakarta Imbau Gereja Tingkatkan Keamanan
Ia juga mengatakan keduanya diketahui tidak berkomunikasi satu sama lain.
"Keterkaitan ideologi ya. Jaringan tidak. Karena kalau di Makassar jelas itu jaringan JAD," kata Ahmad ketika berbincang dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domuara D Ambarita di kantor redaksi Tribunnews Jakarta pada Kamis (1/4/2021).
Baca juga: Cegah Aksi Teror Terulang, Politikus PPP Minta Semua Sel Terorisme di Indonesia Ditelusuri
Ahmad menduga hal yang membuat kejadian di kedua lokasi tersebut hampir bersamaan adalah resonansi dari kesamaan ideologi tersebut.
Ia mengatakan bukan perkara mudah bagi aparat untuk mendeteksi teroris yang beraksi seorang diri atau kerap disebut lone wolf.
Baca juga: Terduga Teroris Beraksi Lonewolf di Mabes Polri, Polisi Menilai ZA Mempelajarinya dari Internet
Menurutnya hal itu di antaranya karena mereka tidak berkomunikasi dengan kelompok-kelompok atau jaringan teroris meskipun aparat dalam tugasnya telah melakukan patroli siber, surveilance, dan analisa.
Hal tersebut, kata dia, dipersulit di antaranya karena berdasarkan riset yang dibacanya 67 persen konten-konten keagamaan yang ada di dunia maya adalah konten radikal.
"Karena yang bisa dimonitor oleh aparat Densus 88 mereka yang terkait dengan jaringan. Kalau yang lain harus melibatkan stakeholder lain," kata Ahmad.